Thursday, November 5, 2015

Jalur Independen oh...Jalur Independen

SYUKUR, setelah hampir lima tahunan akhirnya sejumlah Mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyatakan diri memilih Jalur Independen sebagai kendaraan politik untuk menuju arena pertarungan memperebutkan kekuasaan di Aceh tahun 2017.

Tentunya masih tersimpan dengan rapi di memori kita, bagaimana petinggi partai pemenang pemilu 2009 di Aceh  menentang perjuangan Judicial Review  pasal 256 dari Undang-undang Nomor 11 tahun 2006.


Puncak penolakan itu dibuktikan dengan sikap Partai Aceh sebagai partai pemenang pemilu dengan tidak mendaftar kandidatnya sebagai calon Gubernur Aceh  pada pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)  tahun 2012,  namun alhamdulillah setelah melalui beberapa proses yang melelahkan akhirnya Partai Aceh mendaftarkan Dr. Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf sebagai pasangan calon Gunernur dan Wakil Gubernur Aceh. 
Keputusan Partai Aceh tidak ikut PILKADA pada tahun 2012 kalau tidak dicabut Jalur Independen yang telah berhasil diperjuangkan melalui makamah konstitusi,  membuat  para pemohon Judicial Review pasal 256 UUPA sedikit tidak nyaman. Ada yang mengancam, ada yang menunding sebagai perusak perjuangan, dan yang mengkhawatirkan UUPA akan dicabut pasalnya satu demi satu.
Alhamdulillah, setelah membaca media beberapa hari ini dimana sejumlah tokoh yang tak disangka-sangka akan memilih jalur Independen sebagai kendaraan politik pada PILKADA tahun 2017. 
                                                                                                            KENANGANPada kesempatan ini saya ingin menukilkan sedikit catatan ‘Glie-glie mangat’ pilu ketika dimakamah Konsitusi beberapa tahun yang lalu,  tepatnya pada tanggal 30 Desember 2010,  saya  Faurizal Moechtar,  bersama teman-teman, Tami Anshar Mohd Nur, Zainudin Salam dan Hasbi Baday mendengar pembacaan putusan akhir tentang peninjauan ulang Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh terhadap Undang-Undang dasar 1945 diruang sidang utama Mahkamah Konsitusi.Layaknya diplomat ulung,   kami yang didampingi oleh Kuasa Hukum senior Mukhlis Mukhtar, SH, Safaruddin, SH dan Marzuki, SH tampil dihadapan majelis hakim konstitusi dengan penuh percaya diri, Sepatu Mengkilap, pakaian rapi, lengkap dengan jas dan dasi.Lembar demi lembar Putusan itu dibacakan Oleh Ketua Majelis Hakim Mahfud MD, yang dibantu oleh para hakim anggota  secara bergiliran,  ada kekuatiran yang luar bisa  “Andai saja putusan itu bukan hanya membatalkan pasal 256 dari Undang-undang Nomor 11 tahun 2006, tetapi hakim mahkamah konsitusi membatalkan seluruh isi Undang-udang Nomor 11 tahun 2006” maka konsekwensi logisnya adalah kami para pemohon harus siap dicap sebagai pengkhianat sampai tujuh keturunan.Kami yang dalam lembaran putusan itu disebut dengan Pemohon, Tami Anshar Mohd Nur disebut sebagai Pemohon I berkeinginan mencalonkan diri sebagai Bupati/Wakil Bupati Pidie, Faurizal Moechtar disebut sebagai Pemohon II berkeinginan mencalonkan diri sebagai bupati/wakil Bupati Bireuen,  Zainudin Salam disebut sebagai Pemohon III berkeinginan mencalonkan diri sebagai Bupati Aceh Timur,  dan Hasbi Baday disebut sebagai Pemohon IV berkeinginan mencalonkan diri sebagai Bupati/Wakil Bupati Simeulu.Sebagai masyarakat biasa, kami pemohon merencanakan menggunakan Jalur Independen  sebagai kendaraan politik yang secara undang-undang berlaku seluruh Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah memperbolehkan secara hukum calon perseorangan dalam Pemilukada berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia, dan hal ini deperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, bertanggal 23 Juli 2007, yang mengakui dan memperbolehkan calon perseorangan. Oleh karena itu, Kami pemohon,  meminta  UU Pemerintahan Aceh khususnya pasal 256 dinyatakan  bertentangan dengan UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh tersebut adalah "Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan".Keyakinan pemohon menggugat Pasal 256 UU Pemerintah Aceh tersebut,  karena pasal 256 bukan hanya bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga bertentangan dengan MOU Helsinki  yang menyatakan  bahwa calon independen di Aceh diberlakukan tak hanya pada pilkada 2006, tapi bisa secara berkelanjutan sesuai dengan butir 1.2.2 MoU Helsinki yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, 15 Agustus 2005.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Konstitusi menilai, berdasarkan ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh, membuka kesempatan bagi calon perseorangan untuk ikut dalam pemilukada.  Namun, aturan tersebut dibatasi dalam ketentuan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh yang "ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan gubernur/Wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang a quo diundangkan".
Menurut Majelis Hakim Konsitusi, tidak memberikan kesempatan kepada calon perseorangan dalam Pemilukada bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini juga sesuai dengan putusan Mahkamah Nomor 5/PUU-V/2007, bertanggal 23 Juli 2007, yang mengakui dan memperbolehkan calon perseorangan. "Mahkamah memberi pertimbangan bahwa Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga negara yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang justru dijamin oleh UUD 1945,". Hal tersebut juga diperkuat adanya aturan yang memperbolehkan calon perseorangan dalam UU Pemerintahan Daerah. "Dengan demikian, calon perseorangan dalam Pemilukada secara hukum berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia,".Berdasarkan pertimbangan itu, menurut Mahkamah, calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh dibatasi pemberlakuannya. Karena jika hal demikian diberlakukan maka akan mengakibatkan perlakuan yang tidak adil dan ketidaksamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan antara warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh dan yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia lainnya."Warga negara indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh akan menikmati hak yang lebih sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan yang berarti tidak terdapat perlakuan yang sama di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh UUD 1945," papar Mahkamah.Akhirnya majelis hakim konstitusi manyatakan “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,  Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,  Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya”.Alhamdulillah…putusan mahkamah Konsitusi ini menjadi hadiah akhir tahun kami kepada Rakyat Aceh, Masyarakat Aceh menyambut dengan penuh suka-cita, kini  Jalur Independen sebagai kendaraan politik setelah melanglang buana ke provinsi lain sudah kembali ke daerah asalnya, walaupun sempat dikhabarkan  kandas karena keterbatasan bahan bakar,  namun kerena kepiawaian sang supir diatas bebatuan nyang terjal kendaran independen sampai ketujuan dengan selamat. Tidak ada batasan, siapa saja diperbolehkan naik, politikuskah, pengusahakah, petanikah, nelayankah, tukang bangunankah, tukang becakkah, silakan…tidak ada masalah, termasuk penumpang gelap.
By. Faurizal Moechtar, ST. MM.  adalah Pemohon Judicial Review pasal 256 UUPA. 

No comments:

Post a Comment