Jalur Independen oh...Jalur Independen
SYUKUR, setelah hampir lima tahunan akhirnya sejumlah Mantan
tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyatakan diri memilih Jalur Independen
sebagai kendaraan politik untuk menuju arena pertarungan memperebutkan
kekuasaan di Aceh tahun 2017.
Tentunya masih tersimpan dengan rapi di memori kita,
bagaimana petinggi partai pemenang pemilu 2009 di Aceh menentang perjuangan Judicial Review pasal 256 dari Undang-undang Nomor 11 tahun
2006.
Puncak penolakan itu dibuktikan dengan sikap Partai Aceh
sebagai partai pemenang pemilu dengan tidak mendaftar kandidatnya sebagai calon
Gubernur Aceh pada pemilihan Kepala Daerah
(PILKADA) tahun 2012, namun alhamdulillah setelah melalui beberapa
proses yang melelahkan akhirnya Partai Aceh mendaftarkan Dr. Zaini Abdullah dan
Muzakkir Manaf sebagai pasangan calon Gunernur dan Wakil Gubernur Aceh.
Keputusan Partai Aceh tidak ikut PILKADA pada tahun 2012
kalau tidak dicabut Jalur Independen yang telah berhasil diperjuangkan melalui
makamah konstitusi, membuat para pemohon Judicial Review pasal 256 UUPA
sedikit tidak nyaman. Ada yang mengancam, ada yang menunding sebagai perusak
perjuangan, dan yang mengkhawatirkan UUPA akan dicabut pasalnya satu demi satu.
Alhamdulillah, setelah membaca media beberapa hari ini
dimana sejumlah tokoh yang tak disangka-sangka akan memilih jalur Independen
sebagai kendaraan politik pada PILKADA tahun 2017.
KENANGANPada kesempatan ini saya ingin menukilkan sedikit catatan
‘Glie-glie mangat’ pilu ketika dimakamah Konsitusi beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2010, saya Faurizal Moechtar, bersama teman-teman, Tami Anshar Mohd Nur,
Zainudin Salam dan Hasbi Baday mendengar pembacaan putusan akhir tentang
peninjauan ulang Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah
Aceh terhadap Undang-Undang dasar 1945 diruang sidang utama Mahkamah Konsitusi.Layaknya diplomat ulung, kami
yang didampingi oleh Kuasa Hukum senior Mukhlis Mukhtar, SH, Safaruddin, SH dan
Marzuki, SH tampil dihadapan majelis hakim konstitusi dengan penuh percaya
diri, Sepatu Mengkilap, pakaian rapi, lengkap dengan jas dan dasi.Lembar demi lembar Putusan itu dibacakan Oleh Ketua Majelis
Hakim Mahfud MD, yang dibantu oleh para hakim anggota secara bergiliran, ada kekuatiran yang luar bisa “Andai saja putusan itu bukan hanya
membatalkan pasal 256 dari Undang-undang Nomor 11 tahun 2006, tetapi hakim
mahkamah konsitusi membatalkan seluruh isi Undang-udang Nomor 11 tahun 2006”
maka konsekwensi logisnya adalah kami para pemohon harus siap dicap sebagai
pengkhianat sampai tujuh keturunan.Kami yang dalam lembaran putusan itu disebut dengan Pemohon, Tami Anshar
Mohd Nur disebut sebagai Pemohon I berkeinginan mencalonkan diri sebagai Bupati/Wakil
Bupati Pidie, Faurizal Moechtar disebut sebagai Pemohon II berkeinginan
mencalonkan diri sebagai bupati/wakil Bupati Bireuen, Zainudin Salam disebut sebagai Pemohon III
berkeinginan mencalonkan diri sebagai Bupati Aceh Timur, dan Hasbi Baday disebut sebagai Pemohon IV
berkeinginan mencalonkan diri sebagai Bupati/Wakil Bupati Simeulu.Sebagai masyarakat biasa, kami pemohon merencanakan menggunakan Jalur
Independen sebagai kendaraan politik yang
secara undang-undang berlaku seluruh Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan
Daerah memperbolehkan secara hukum calon perseorangan dalam Pemilukada berlaku
di seluruh wilayah Republik Indonesia, dan hal ini deperkuat dengan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, bertanggal 23 Juli 2007, yang mengakui
dan memperbolehkan calon perseorangan. Oleh karena itu, Kami pemohon,
meminta UU Pemerintahan Aceh
khususnya pasal 256 dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh tersebut adalah "Ketentuan
yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan
pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan".Keyakinan pemohon menggugat Pasal 256 UU Pemerintah Aceh tersebut, karena pasal 256 bukan hanya bertentangan
dengan UUD 1945, tetapi juga bertentangan dengan MOU Helsinki yang menyatakan bahwa calon independen di Aceh diberlakukan
tak hanya pada pilkada 2006, tapi bisa secara berkelanjutan sesuai dengan butir
1.2.2 MoU Helsinki yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka di Helsinki, 15 Agustus 2005.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Konstitusi menilai,
berdasarkan ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh, membuka
kesempatan bagi calon perseorangan untuk ikut dalam pemilukada. Namun, aturan tersebut dibatasi dalam ketentuan
Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh yang "ketentuan yang mengatur calon
perseorangan dalam pemilihan gubernur/Wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau
walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 ayat (1) huruf
d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak
Undang-Undang a quo diundangkan".
Menurut Majelis Hakim Konsitusi, tidak memberikan
kesempatan kepada calon perseorangan dalam Pemilukada bertentangan dengan UUD
1945. Hal ini juga sesuai dengan putusan Mahkamah Nomor 5/PUU-V/2007,
bertanggal 23 Juli 2007, yang mengakui dan memperbolehkan calon perseorangan. "Mahkamah
memberi pertimbangan bahwa Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh dapat menimbulkan
terlanggarnya hak warga negara yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang justru dijamin oleh UUD 1945,". Hal tersebut juga
diperkuat adanya aturan yang memperbolehkan calon perseorangan dalam UU
Pemerintahan Daerah. "Dengan demikian, calon perseorangan dalam Pemilukada
secara hukum berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia,".Berdasarkan pertimbangan itu, menurut Mahkamah, calon
perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh
dibatasi pemberlakuannya. Karena jika hal demikian diberlakukan maka akan
mengakibatkan perlakuan yang tidak adil dan ketidaksamaan kedudukan di muka
hukum dan pemerintahan antara warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di
Provinsi Aceh dan yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia lainnya."Warga negara indonesia yang bertempat tinggal di
Provinsi Aceh akan menikmati hak yang lebih sedikit karena tidak dapat
mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara
perseorangan yang berarti tidak terdapat perlakuan yang sama di depan hukum dan
pemerintahan sebagaimana dijamin oleh UUD 1945," papar Mahkamah.Akhirnya majelis hakim konstitusi manyatakan “Mengabulkan
permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 256
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya”.Alhamdulillah…putusan mahkamah Konsitusi ini menjadi
hadiah akhir tahun kami kepada Rakyat Aceh, Masyarakat Aceh menyambut dengan
penuh suka-cita, kini Jalur Independen sebagai
kendaraan politik setelah melanglang buana ke provinsi lain sudah kembali ke
daerah asalnya, walaupun sempat dikhabarkan
kandas karena keterbatasan bahan bakar,
namun kerena kepiawaian sang supir diatas bebatuan nyang terjal kendaran
independen sampai ketujuan dengan selamat. Tidak ada batasan, siapa saja
diperbolehkan naik, politikuskah, pengusahakah, petanikah, nelayankah, tukang
bangunankah, tukang becakkah, silakan…tidak ada masalah, termasuk penumpang
gelap.
By.
Faurizal Moechtar, ST. MM. adalah Pemohon Judicial Review pasal 256 UUPA.
No comments:
Post a Comment