KLIPING KORAN
Harian Serambi Indonesia
Harian Serambi Indonesia
Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (31 Januari 1999 sampai 4 Februari 1999) semakin menyuarakan pendapat, tuntutan, serta kecaman tajam kepada Pemerintah Pusat yang dinilai tak memberi perhatian setimpal dengan hasil yang dikuras dari bumi Aceh. Justru itu, banyak peserta kongres bependapat, kondisi rakyat daerah ini akan lebih baik bila Aceh mengurus sendiri "rumah tangganya".
Untuk jangka pendek, peserta Kongres itu menuntut Pemerintah Pusat untuk segera membuktikan bahwa keadilan itu ada di Indonesia, antara lain dengan menyelesaikan kasus-kasus di Aceh secara tuntas melalui jalur hukum. Sebab, selama ini Pemerintah Pusat terkesan hanya mengumbar janji yang membuat masyarakat semakin tidak percaya kepada penguasa.
Suara-suara seperti itu kemarin direkam tim wartawan Serambi di arena Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau, saat berlangsung sesi diskusi soal HAM dan Hukum yang menghadirkan Prof Dr Hakim Nyak Pha dan Prof Dr Bahrein T Sugihen sebagai narasumber.
Di sesi ini banyak peserta mengeluarkan unek-unek yang mempertanyakan langkah-langkah konkret penyelesaian hukum. "Mengapa belum ada para pemerkosa wanita Aceh yang dihukum," kata Ainol Mardhiah. Sedangkan Murni, utusan mahasiswa Cot Kala Langsa menanyakan, "Kepada siapa kami harus memgadu berbagai kasus pelanggaran HAM selama DOM. Kenapa tuntutan rakyat Aceh tidak pernah disahuti. Apakah kami harus mengadu kepada Mahkamah Internasional?" Pernyataan senada dengan yang diucapkan "dua srikandi" Aceh itu, juga disampaikan Marwan Nusuf, Ketua Tanah Rencong Students Asosiation (Tarsa) di Malaysia, Tgk Al Kamal NA yang mewakili ikatan santri Pesantren Darul Istiqamal, Krueng Batee, Aceh Selatan; Tgk Munir dari Pesantren Istiqamah, Bireun, Aceh Utara; dan Drs Masthur Yahya, dari Pesantren Darussalam, Peureulak, Aceh Timur serta sejumlah peserta Kongres.
Inti ungkapan mereka itu mendesak Pemerintah Pusat untuk lebih memperhatikan Aceh demi terangkatnya kembali martabat rakyat daerah ini yang amat menderita akibat pemberlakukan status Daerah Operasi Militer (DOM) sejak 1989. Jika tuntutan itu tetap juga tidak didengar, mereka meminta agar Aceh dilepaskan saja untuk berdiri sendiri.
Kepada Serambi, Tgk Al Kamal yang terus mempersoalkan penegakan HAM menolak digunakan sistem HAM sekarang ada di Indonesia untuk penyelesaian kasus Aceh. "Sebaiknya, kita menggunakan ajaran Islam dengan pemberlakuan Hukum Qishas dimana nyawa harus dibalas dengan nyawa serta darah dibalas dengan darah," tegasnya.
Tantang pemerintah
Seirama dengan para peserta, Tgk Munir dan Masthur Yahya juga menginginkan tindakan aparat militer semasa DOM di Aceh dihukum berat.
Perlakuan tentara di Aceh, menurut mereka, sungguh sangat biadab karena melakukan pelecehan tidak hanya kepada kaum pria tapi juga menginjak-injak kesucian wanita Aceh.
"Kita menantang pemerintah untuk membuktikan tegaknya hukum terhadap apa yang terjadi selama satu dekade terakhir di Aceh," ujar Ketua Umum Badko HMI Aceh, Muhammad Saleh. Sebab, pemerintah sudah berulangkali menjanjikan untuk menindak para pelanggar HAM di Aceh sesuai hukum yang berlaku.
Hal senada juga dikatakan jurubicara Forum Solidaritas Mahasiswa Aceh Yokyakarta (FOSMATA), De Ronnie, yang meminta pemerintah agar melihat akar permasalahan yang kini berkembang di tengah rakyat Aceh demi tegaknya rasa keadilan. "Makna merdeka itu keadilan. Masyarakat harus dibuat sadar bahwa mereka punya hak yang sama di mata hukum sebagai warganegara," katanya.
Menurut Ronnie, setelah pencabutan DOM, awal Agustus tahun lalu, kondisi masyarakat Aceh berada di ambang perpecahan. Hal itu disebabkan, karena tidak adanya kepastian hukum bagi mereka yang telah merampas harkat dan martabat rakyat Aceh sehingga masyarakat menempuh dengan caranya sendiri. "Jadi untuk memulihkan kepercayaan masyarakat Aceh, pemerintah dituntut agar mau bercermin pada kalbu rakyat," tegasnya.
Dalam penanganan kondisi masyarakat yang sangat traumatis, tambah Saleh, tidak dilakukan secara proposional oleh Pemerintah Daerah (Pemda) setelah keamanan diserahkan langsung kepada rakyat Aceh oleh Pangab ABRI Jenderal Wiranto ketika ia mengumumkan pencabutan DOM, 6 Agustus tahun silam.
Seharusnya, menurut Saleh, Pemda Aceh segera memformulasikan perangkat hukum baik hukum adat maupun hukum formal lainnya setelah DOM dicabut, sehingga tidak terjadi kevakuman sosial di tengah masyarakat, khususnya di kabupaten Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. "Tapi ini yang tak dilaksanakan Pemda Aceh," tandasnya.
Saleh juga mengkritik Pemda yang tidak memperkuat jaringan civil society (masyarakat sipil) dan juga tidak melakukan pengetatan jaringan birokrasi. "Seandainya saja Pemda melakukan dialog dengan kelompok-kelompok kritis seperti mahasiswa, LSM, aktivis, akademisi, dan kalangan lainnya, tentu perjuangan penegakan hukum yang dituntut rakyat Aceh akan besar gaungnya," tandasnya. Melalui dialog itu dapat disusun agenda khusus agar kevakuman dimaksud dapat teratasi.
Akibat tidak adanya agenda yang jelas dari pemerintah daerah, maka pihak ketiga masuk dengan memanfaatkan situasi masyarakat, sehingga timbulah berbagai kerusuhan di tiga daerah yang merasakan langsung DOM. Di sini, menurut pengamatan Badko HMI, ada empat kelompok yang bermain. "Mereka adalah ABRI dengan gerakan kontra intelijen, Aceh Merdeka, parpol dengan mendepolitisasi korban DOM, serta birokrat dan eli politik, tandas Saleh.
Ia juga mengungkapkan bahwa pola pembangunan di Aceh tidak mencerminkan pada tiga keistimewaan yang selama ini disandangnya.
Saleh menandaskan, pembangunan selama ini sama sekali tidak mengarah kepada istimewa. "Bisa saksikan sendiri bagaimana pembangunan itu dilaksanakan. Semua kebijakan harus berdasarkan keputusan dari atas (pusat)," ujarnya.
Menyangkut dengan Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau, Badko HMI menginginkan agar arena tersebut tidak menjadi tour of duty, tapi mampu menghasilkan satu konsep nyata untuk mengangkat kembali martabat rakyat Aceh. Kalaupun nantinya mengeluarkan sejumlah rekomendasi, jelas Saleh, berbagai dimensi harus mencakup di dalamnya, seperti masalah hukum dan HAM, politik, ekonomi, serta referendum.
Dalam hal referendum, Saleh mengharapkan agar hal itu akan menjadi satu wahana sebagai wacana untuk meminta rakyat Aceh yang memutuskan sendiri apakah akan tetap bergabung dengan Indonesia atau meinginkan pemisahan. Badko HMI pesimis kalau Kongres itu bakal menghasilkan keputusan greget, sebab tak mendiskusikannya langsung persoalan rakyat dengan para pengambil keputusan seperti gubernur dan DPRD.(nuh/rs/ed)
No comments:
Post a Comment