Menarik sekali menonton acara “Apa Kabar Indonesia Akhir Pekan” yang ditayangkan TV One pada pagi 5 Januari 2013. Dalam satu sesi acaranya tersebut TV ONE mengangkat topik tentang “larangan duduk mengangkang” yang baru-baru ini menjadi isu populer, khususnya di Aceh.
Ide larangan duduk
mengangkang bagi wanita kononnya dicetuskan oleh Paduka Walikota
Lhokseumawe Suaidi Yahya yang telah berhasil mengalahkan rivalnya pada
pilkada 2012 lalu dengan perolehan suara 39,62%. Penulis yakin ketika
itu Pak Walikota tidak mensyaratkan wanita yang memilih dirinya pada
Pilkada tersebut harus duduk menyamping dalam berkendaraan, bahkan
mungkin saja mayoritas wanita yang mendukung Pak Suaidi ketika itu
adalah “Pengangkang”.
Sang walikota beralasan bahwa pelarangan duduk mengangkang adalah untuk mendukung Syariat Islam yang telah ada Qanun-nya
di Aceh. Menurut beliau (Suaidi), kaum perempuan yang duduk mengangkang
saat dibonceng sepeda motor, tidak sesuai dengan budaya Aceh yang
Islami. Suadi juga menyatakan, budaya Aceh dalam berkendaraan bagi
wanita adalah dengan cara duduk menyamping (http://www.bbc.co.uk, 03 / 01/ 2013).
Mengangkang Melanggar Syari’at?
Larangan duduk mengangkang dalam berkendaraan khususnya sepeda motor yang dicetuskan oleh Walikota Lhokseumawe menurut penulis adalah kebijakan yang sama sekali tidak bijak. Larangan tersebut tidak memiliki landasan yang kuat baik dari segi dalil maupun akal. Pernyataan Walikota bahwa duduk kangkang melanggar adat istiadat Aceh dan Syari’at Islam menurut penulis adalah anggapan yang berlebihan dan bertentangan dengan fakta sejarah. Jika memang ingin menerapkan Syari’at Islam, maksimalkan dulu penerapan qanun-qanun yang sudah ada, tanpa perlu menambah aturan baru yang akhirnya hanya akan menjadi cerita yang tak laku.
Larangan duduk mengangkang dalam berkendaraan khususnya sepeda motor yang dicetuskan oleh Walikota Lhokseumawe menurut penulis adalah kebijakan yang sama sekali tidak bijak. Larangan tersebut tidak memiliki landasan yang kuat baik dari segi dalil maupun akal. Pernyataan Walikota bahwa duduk kangkang melanggar adat istiadat Aceh dan Syari’at Islam menurut penulis adalah anggapan yang berlebihan dan bertentangan dengan fakta sejarah. Jika memang ingin menerapkan Syari’at Islam, maksimalkan dulu penerapan qanun-qanun yang sudah ada, tanpa perlu menambah aturan baru yang akhirnya hanya akan menjadi cerita yang tak laku.
Zaman dahulu kuda merupakan alat
transportasi utama yang digunakan oleh masyarakat dunia termasuk Aceh,
baik laki-laki maupun perempuan. Para perempuan Aceh tempo dulu juga
menggunakan kuda sebagai alat transportasi, karena mereka tidak mungkin
menuju ke tempat yang jauh dengan berjalan kaki, maklum ketika itu belum
ada kereta api ataupun bis kota yang bias ditumpangi.
Tidak cuma di Aceh, para wanita di
negeri Arab masa lampau juga menggunakan kuda sebagai kendaraan, dan
sebagian dari mereka malah ada yang menunggangi unta sebagaimana hal
tersebut pernah dilakukan oleh Aisyah Radhiallahu’anha pada saat
memimpin perang Jamal. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa
Shafiyah binti Abdul Muthalib Radhiallahu’anha juga sering menunggang
kuda dalam sejumlah peperangan.
Adalah sangat tidak masuk akal jika para
perempuan mengendarai kuda dengan posisi menyamping. Sudah pasti para
wanita ketika itu menunggangi kuda dengan posisi mengangkang, karena
mereka akan merasa aman dengan posisi tersebut. Jika penunggang kuda
duduk dengan cara mengangkang maka penumpang yang duduk di belakang kuda
tersebut juga mesti mengangkang, tidak mungkin duduk menyamping karena
akan terjatuh ketika kuda dipacu, apalagi jika perjalanannya jauh, tidak
mungkin kudanya berjalan santai.
Dilihat dari segi bentuk fisiknya kuda
dan sepeda motor memiliki kesamaan bentuk sehingga cara mengendarainya
juga mesti sama. Tidak mungkin mengendarai sepeda motor dengan cara
menyamping, karena umumnya kendaraan bergerak ke depan bukan ke samping.
Hajat Walikota Lhokseumawe untuk
menerapkan duduk menyamping bagi penumpang sepeda motor adalah kebijakan
yang salah kaprah dan tergesa-gesa tanpa melalui proses perenungan yang
matang sehingga pemikiran tersebut terkesan tidak logis.
Anehnya yang mengendarai motor boleh
kangkang, sedangkan penumpang di belakang tidak boleh kangkang? Memang
apa bedanya kangkang di depan dengan kangkang belakang? Jika kangkang di
depan membelah paha, maka kangkang di belakangpun demikian. Lantas apa
pasal di depan boleh kangkang dan di belakang tidak boleh? Tentunya hal
ini perlu dijelaskan secara rinci oleh Pak Walkot.
Jika menurut Pak Walikota wanita duduk
kangkang menyerupai lelaki, sekarang kita tanya kepada Pak Walkot,
emang sejak kapan duduk kangkang itu menjadi hak tunggal laki-laki?
Tangggal berapa diresmikan dan siapa yang meresmikannya?
Lantas bagaimana dengan stelan jas plus
dasi yang pak Walkot pakai? Bukankah bentuk pakaian seperti itu adalah
pakaiannya orang kafir? Bagaimana ini? Apa Pak Walkot tidak takut
dituduh menyerupai kafir? Mungkin Pak Walkot akan menjawab “…ini ‘kan lain…”. Memang apanya yang lain?
Jika menurut Pak Walkot duduk kangkang
itu tidak sesuai dengan Adat Istiadat Aceh, memangnya Pak Walkot baca di
buku mana bahwa duduk kangkang bagi laki-laki itu sesuai dengan adat
Aceh sedangkan duduk kangkang bagi perempuan tidak sesuai dengan adat
Aceh?
Konsep Rapuh
Dalam pandangan penulis, larangan duduk kangkang yang dipromosikan oleh Walikota Lhokseumawe adalah ide miskin tanpa konsep yang jelas. Hal ini terbukti ketika Pak Suaidi diwawancarai oleh reporter TV ONE, Pak Suaidi terlihat gugup dan tidak mampu mempertahankan idenya tersebut dengan jawaban yang ilmiah dan logis. Penjelasan Suaidi hanya berkutat pada otonomi khusus dan Syari’at Islam. Sungguh jawaban yang tidak relevan dengan pertanyaan. Disini nampak jelas bahwa ide Suaidi Yahya sangat rapuh dan bahkan lapuk sehingga tidak perlu dipertahankan.
Dalam pandangan penulis, larangan duduk kangkang yang dipromosikan oleh Walikota Lhokseumawe adalah ide miskin tanpa konsep yang jelas. Hal ini terbukti ketika Pak Suaidi diwawancarai oleh reporter TV ONE, Pak Suaidi terlihat gugup dan tidak mampu mempertahankan idenya tersebut dengan jawaban yang ilmiah dan logis. Penjelasan Suaidi hanya berkutat pada otonomi khusus dan Syari’at Islam. Sungguh jawaban yang tidak relevan dengan pertanyaan. Disini nampak jelas bahwa ide Suaidi Yahya sangat rapuh dan bahkan lapuk sehingga tidak perlu dipertahankan.
Di beberapa media penulis juga sempat
membaca pernyataan Nasir Jamil, anggota DPR-RI asal Aceh dari Fraksi PKS
di salah satu media yang secara tidak langsung juga turut mendukung
kebijakan Pak Walkot. Nasir menyatakan bahwa kepala daerah memiliki
otoritas untuk mengeluarkan peraturan guna menjaga ketertiban dan
kenyaman di daerahnya. Pertanyaannya apa hubungan duduk kangkang dengan
ketertiban dan kenyamanan daerah? Apakah daerah akan terancam apabila
perempuan duduk mengangkang?
Jika larangan duduk kangkang ditujukan
kepada pemuda/pemudi non muhrim yang belum menikah, penulis sangat
sepakat mengingat hal tersebut memang melanggar ketentuan syari’at yang
tidak membenarkan seorang wanita berduaan dengan non-muhrim. Namun,
larangan tersebut akan sangat aneh jika diterapkan kepada pasangan
suami istri. Bayangkan saja jika ada suami istri yang memiliki 3 anak
menempuh perjalanan jauh. Apa masuk akal jika istrinya duduk menyamping?
Anaknya mau dibawa kemana? Apa harus dimasukkan ke bagasi?
Mungkin selama ini Pak Walkot belum
pernah mengendarai sepeda motor sehingga tidak faham bagaimana rasanya
menempuh perjalanan jauh bersama istri plus 3 orang anak. Atau mungkin
Pak Suaidi sudah lupa karena selama ini Pak Suaidi menggunakan mobil
mewah full AC plus supir dan ajudan, sehingga istri Pak Suadi
bisa duduk bersila dalam mobil sambil baca komik tanpa harus
mengangkang? Coba Paduka renungkan kembali. Wallahu Waliyut Taufiq. (op)
(Penulis adalah Alumnus IAIN Ar-Raniry dan juga seorang pengendara sepeda motor)
Sumber : http://atjehlink.com
No comments:
Post a Comment