DISUNTING OLEH : FAURIZAL MOECHTAR
Kongres
Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) yang dilaksanakan oleh Koalisi Aksi
Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA) dan
Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Se-Nusantara (KMPAN) pada 31 Januari-4
Februari 1999 berhasil membentuk Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA)
sebagai Sentral Informasi dan lembaga perjuangan referendum Aceh dimanahkan
kepada 25 orang Presidium sebagai pimpinan kolegtif dengan Koordinator Muhammad
Nazar.
Mandat
dari KOMPAS ini memperjuangkan aspirasi
rakyat Aceh melalui referendum dengan dua opsi, yakni mengadakan
jajak pendapat dengan opsi merdeka atau menerima otonomi. Rekomendasi itu
keluar setelah melalui perdebatan panjang antar mahasiswa
yang menyatakan penerapan otonomi khusus merupakan cara menyelesaikan konflik.
Sebaliknya, mayoritas peserta kongres yang berlangsung di Balee Chik di Tiro
Banda Aceh ini berfatwa referendum merupakan solusi damai konflik politik
vertikal antara Aceh-Jakarta.
Mandat
lain yang diberikan kepada SIRA yakni mengusung Sumpah Bangsa Aceh pada 28
Oktober 1999 di halaman Gedung DPRD Aceh yang dihadiri lebih 100 ribu lebih
warga. Selain itui mandat terbesar lain diberikan oleh Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh
(SU-MPR Aceh) pada 8 November 1999 di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda
Aceh. Kegiatan kolosal ini diperkirakan dihadiri oleh dua juta rakyat Aceh.
Hasilnya menelorkan petisi sepakat diadakan referendum di Aceh yang
ditandatangani oleh Ketua DPRD Aceh Muhammad Yus, Gubernur Aceh Prof Syamsuddin
Mahmud, Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Seluruh Aceh (HUDA) Waleh Nu dan
Koordinator Presidium SIRA.
Jauh sebelum pembentukan Partai SIRA, SIRA telah melewati
dan menerima berbagai resiko padahal secara umum Gerakan sipil lainnya tidak
berani serta takut dituduh sebagai Gerakan Aceh Mardeka (GAM). Ketakutan
tersebut muncul akibat ekses stigma (sebutan dan label jelek) seperti GPK
(Gerakan Pengacau Keamana), GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro) dan
sebagainya yang terjadi pada masa-masa 1976-1998 terhadap Aceh Mardeka (AM)
yang kemudian akhir 1998 dikenal dengan Nama GAM (Gerakan Aceh Mardeka). Stigma
GPK dan GPLHT memang tidak lekang dengan sendirinya tanpa ada yang mau
mengambil resiko berjuang menghapuskannya. Gara-gara sebutan GPK dan GPLHT
seseorang atau sebuah lembaga lebih memilih menjauh dan tidak ada yang
mendukung GAM waktu itu, apalagi secara terbuka. stigma pengacau keamanan
sangatlah mempengaruhi masyarakat Aceh dan Internasional, sehingga AM dan GAM
samasekali tidak mendapatkan dukungan selama berpuluh-puluh tahun, tapi sejak
awal 1999 secara terbuka, damai dan berani SIRA melakukan berbagai langkah
perjuangan damai. Semua resiko dialami oleh SIRA karena tujuan mulia, agar
siapapun rakyat Aceh tidak lagi distigmakan sebagai GPK, GPLHT atau
sebutan-sebutan jelek lainya yang merugikan , agar GAM dan RI mengakui dan
duduk semeja dengan harapan perundigan damai terbuka dan masyarakat nasional
maupun internasional mengetahui keadaan Aceh yang sebenarnya.
Tercatatlah bagaimana SIRA melakukan geraka perjuangan
damai melalui berbagai macam demontrasi besar-besaran menuntut REFERENDUM pada
1999-2004, memperjuangkan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilah, melakukan pencerdasan rakyat, lobi nasional
dan internasional. Bahkan sesuatu yang amat bersiko dilakukan oleh SIRA yaitu
membantu mengakui secara terbuka GAM sebagai sebuah pemerintahan. Padahal sebenarnya
GAM bukanlah sebuah pemeritahan dan sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai
sebuah pemerintahan. Aksi-aksi perjuangan SIRA yang sangat cepat, damai dan
cerdas tersebut telah membawa resiko yang begitu banyak kepada Pimpinan SIRA
dan anggota-anggotanya. Masa-masa sulit terus dialami oleh
SIRA, sejumlah kadernya di tangkap oleh pemerintah, diculik dan bahkan ada yang ditembak mati oleh orang tak
dikenal, namun demikian SIRA tetap pada pendiriannya mengkampanyekan Perdamaian
untuk Aceh. Bahkan setelah
perdamaianpun SIRA tidak tidak pernah meminta kompensasi (Ganti rugi) materil
dan uang apapun dari Pemerintah, meskipun korban konflik lainya termasuk para
mantan gerilyawan GAM mendapatkan dana kompensasi tersebut melalui Badan
Reintergrasi-Damai Aceh (BRA). Bagi SIRA yang paling penting diperhatikan
secara material dan non material Para korban konflik dan mantan GAM. SIRA
mengarahkan anggota-anggotanya untuk mandiri dan tidak boleh memungut uang dari
apapun dan siapapun. Karena perjuangan itu adalah kemuliaan, kebaikan dan
keagungan tanpa pamrih kapada rakyat Aceh serta karena Allah.
SIRA sangat cepat mendapatkan dukungan rakyat Aceh,
simpati nasional dan Internasional. SIRA hadir di berbagai provinsi di Indonsia
dan luar Negeri untuk menjelaskan serta mengkampanyekan tentang Aceh. Alhasil
masyarakat non Aceh pun mendukung dan
membela SIRA. Pemerintah dan para pengamat member penenilaian bahwa
Gerakan SIRA yang damai, bijak dan berani tetepi penuh resiko itu , telah
terjadi gerakan moral dan politik yang telah berasil menarik perhatian
Internasional untuk Aceh, merubah
pandangan masyarakat desa, kota, nasional dan internsional terhadap GAM.
Sehingga akhirnya hilanglah stigma GPK, GPLHT dan sebagainya , lalu jalan damaipun
terbuka sejak tahun 2000. Ketika itu dalam kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh
serantau II, SIRA mengumumkan bahwa dalam waktu dekat akan lahir perundingan Awal yang difasilitasi oleh HDC (Henry Dunant
Center) dari Swiss, pengumuman itu sengaja disampaikan oleh SIRA dalam Forum
Tersebut sebagai Salah satu laporan kegiatan Perjuangan Lobi internasional.
Waktu itu SIRA membangun hubungan dan Lobi secara intens dengan HDC dan
berupaya meyakinkan pimpinan GAM agar mau berunding dengan fasilitaor HDC meskipun bukan Negara.
Demikian pula pada bulan Mei 2000, Ketua Dewan Presidium SIRA, Muhammad Nazar diundang ke
Helsinki Filandia sebagai pembicara dalam konfrensi Internasional tentang
konflik di Asia tenggara yang diikuti oleh berbagai lembaga pemerintah dan non
pemerintah dari berbagai Negara. Dalam acara tersebut Muhammad Nazar memaparkan
tentang Aceh dan meminta dunia internasional untuk menyelesaikan Konflik Aceh.
Begitupun Muhammad Nazar dan anggota-anggota SIRA terus hadir diberbagai
Negara untuk melakukan lobi, kampanye dan unjuk rasa damai, termasuk Amerika
serikat, Australia,
Negara-nagara eropa dan Asia. Dalam kurun 1999-2000, SIRA sempat menawarkan
diberikanya Partai Politik Lokal dan pemilu lokal di Aceh. Tawaran ini kemudian
dimasukkan dalam perjanjian penghentian permusuhan yang difasilitasi HDC pada
2002, tetapi proses perdamaian ini kemudian gagal, SIRA tidak pernah putus asa
, bahkan semangat perjuangan terus meningkat walaupun pimpinan dan anggotanya
ditangkap serta dipenjarakan sampai diikat dengan rantai dan di asingkan ke penjara
ke Malang Jawa Timur. Ketua SIRA dari dalam penjara tersebut dan anggotanya yang diluar penjara
tetap berjuang dengan berbagai macam cara. Berbagai pertemuan diadakan di luar
negeri yang dihadiri masyarakat Aceh dan beberapa aktivis Internasional untuk
menyusun kekuatan agar segera lahir perdamaian. Pada saat yang sama lobi-lobi
internasionalpun yang diorganisir oleh SIRA terus berlangsung dimana-mana,
sementara di Aceh aktivis-aktivis SIRA bergerak dengan strategi dibawah tanah
karena sedang berlangsung Darurat Militer dan Darurat Sipil. Akhirnya jalan
damaipun terbuka kembali sebelum terjadi Gempa bumi dan gelombang tsunami, tetapi harus diakui bencana alam yang dasyat ini
telah mempercepat serta memperpendek proses Perundingan.
Perundingan kali ini difasilitasi oleh Crisis Managemen
Initiative (CMI) yang dikomandoi mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisari.
Sebagaimana sewaktu proses perdamaian yang di fasilitasi oleh HDC, SIRA menolak
sebagai salah satu pihak yang menandatangani perdamaian. SIRA melihat penandatanganan
kedua belah pihak hanya mekanisme normal dalam sebuah perundingan yang lebih
Efektif. Tetapi hasilnya tetap milik semua masyarakat Aceh dan damai juga milik
semua manusia. Karena itu SIRA mengirim beberapa utusan untuk bermufakat dengan
GAM yang akan menjadi mitra perundingan Pemerintah RI. Bahkan SIRA mengusulkan
konsep yang harus dimasukkan Memorandum Of
Understanding (MOU) Helsinki. Diantaranya (1). SIRA menginginkan
Kewenang Pemerintah pusat hanya di bidang pertahanan keamanan , hubungan internasional
dan moniter (mata uang) sedangkan yang lainya diserahkan kepada pemerintah
Aceh. Tetapi akhirnya perundingan GAM dengan RI enam kewenangan Pemerintah RI
yaitu pertahanan luar, keamanan nasional, hubungan internasional, kekuasaan
kehakiman, fiskal, moniter dan kebebasan beragama. Semua ini harus dituangkan
dalam undang-undang Pemerintah Aceh yang kemudian lebih dikenal dengan UU-PA
dan perlu segera diadakan pilkada langsung untuk segera memilih
pimpinan-pimpinan daerah di seluruh Aceh. (2). SIRA Menginginkan jumlah TNI
dalam keadaan normal cukup 6000 personil, yang akhirnya
disetujui oleh GAM dan Pemerintah RI sebanyak 14700 personil. (3). SIRA meminta
hasil Gas dan Minyak Bumi 90% untuk Aceh dan 10% untuk pusat, serta diberikan
konspensasi khusus terhadap hasil migas yang telah diambil sebelumnya sejak
1970-an oleh pemerintah sesuai dengan kesepakatan, tetapi akhirnya hanya
disepakati oleh GAM dan RI untuk Aceh 70% dan untuk pusat 30%. (4) SIRA meminta
membolehkan penggunaan lambang, bendera dan symbol khusus Aceh lainya, dan
akhirnya disepakatileh GAM dan RI. (5) SIRA memasang harga mati agar diberikan
dan diperbolehkan pembentukan partai-partai politik lokal di Aceh. Apabila
tidak diberikan SIRA tidak akan mendukung perundingan tersebut. Akhirya kehendak
tersebut tercapai, SIRA dan GAM juga menolak Partai Khusus Kepada SIRA dan GAM
karena semua rakyat Aceh berhak berbuat partai politik dan memiliki Hak atas
MOU Helsinki. (6) SIRA meminta pembebasan tahanan dan narapidana politik tanpa
syarat, termasuk siapapun yang telah ditangkap dan ditahan terkait konflik
Aceh. (7). Meminta konspensasi sosial Ekonomi kepada mantan GAM , korban
konflik, tahanan dan narapidana politik. Serta banyak hal-hal lain diusulkan dan diperjuangkan SIRA agar perundingan GAM
dan RI memasukka dalam MOU Helsinki yang ditandangani pada 15 agustus 2005 itu,
termasuk demobilisasi gerilyawan GAM dan pembubaran kelompok-kelompok yang
melawan GAM.
Kebutuhan untuk
memperjuangkan perdamaian berkelanjutan, demokrasi, keadilan dan kesejahteraan
pasca panandatanganan MOU Helsingki
pada tanggal 15 Agustus 2005 antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh
merdeka dan kemudian melahirkan Undang-Undang No. 11/2006 Tentang Pemerintahan
Aceh, Peraturan Pemerintah No. 20/2007 Tentang Partai Politik Lokal di Aceh dan
Qanun-qanun Aceh. Melalui perdebatan panjang SIRA melahirkan sebuah Partai
Lokal yang diberi nama Partai Suara Independen Rakyat Aceh.
Partai Suara Independen Rakyat Aceh yang disingkat dengan
Partai SIRA didirikan pada tanggal 10 Desember 2007 untuk jangka waktu yang
tidak ditentukan. Partai ini menyatakan diri sebagai sebuah kekuatan politik
secara damai, demokrasi dan terbuka
dalam pembangunan perdamaian berkelanjutan, keadilan dan kesejahteraan bagi
rakyat Aceh serta sesuai dengan konstitusi Repoblik Indonesia.
Nilai
Dasar Perjuangan Partai SIRA
Seluruh gerakan Partai
SIRA dipandu oleh 5 Nilai Dasar Perjuangan (NDP), yaitu Keislaman,
Persaudaraan, Kerakyatan, Keacehan dan Keadilan Sosial. Kelima nilai ini
hakikatnya adalah semangat utama yang tertanam kuat dalam tubuh Partai SIRA.
1.
Keislaman
Keislaman adalah nilai dasar perjuangan Partai SIRA yang
melahirkan semangat dan cita-cita pembebasan yang berpihak pada penegakan
hak-hak asasi manusia, demokrasi, perdamaian dan keadilan. Nilai keislaman juga
dimaksudkan bahwa perjalanan perjuangan Partai SIRA dipandu sepenuhnya oleh
moral Islam yang senantiasa berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
2.
Persaudaraan
Persaudaraan adalah nilai dasar perjuangan Partai SIRA
yang senantiasa memperhatikan dan mengutamakan semangat persaudaraan masyarakat
Aceh secara umum tanpa dibatasi oleh perbedaan ideologi dan agama. Persaudaraan
lebih diutamakan di kalangan kekuatan-kekuatan masyarakat Aceh yang komit
melakukan perjuangan penegakan hak-hak asasi manusia, demokrasi, perdamaian dan
keadilan.
3.
Kerakyatan
Kerakyatan bermakna perjuangan Partai SIRA bertujuan
memenangkan kepentingan rakyat yang lebih luas diatas kepentingan golongan
maupun kepentingan pasar (people before profit). Kerakyatan
juga bermakna perjuangan Partai SIRA bertujuan untuk mendorong keterlibatan
aktif rakyat secara luas dalam politik dan pembangunan di segala bidang, bukan
sekedar menjadi pelaku pasif (people centered). Demi
tujuan-tujuan ini, Partai SIRA selanjutnya memandang dirinya sebagai wadah
perjuangan politik yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat Aceh dalam membebaskan
diri dari penindasan dan keterbelakangan.
4.
Kearifan ke-aAcehan
Keacehan adalah nilai dasar perjuangan Partai SIRA yang
bertujuan untuk memperkuat eksistensi dan pengakuan Aceh sebagai entitas
sosial-budaya dan politik yang terbentuk dari situasi sosial yang mengkristal
dan memiliki kehendak bersatu yang dipengaruhi oleh perkembangan sejarah,
kesamaan nasib, kekayaan bahasa dan adat-istiadat. Karena itu, Partai SIRA menggunakan
kearifan lokal dan nilai-nilai keacehan dalam melaksanakan semua aktifitas
pembangunan yang diinginkan oleh rakyat.
5.
Keadilan Sosial
Keadilan Sosial adalah nilai dasar perjuangan Partai SIRA
menentang semua bentuk diskriminasi ras, diskriminasi kelas sosial dan
diskriminasi gender. Nilai keadilan sosial juga untuk membumikan prinsip negara
kesejahteraan (welfare state) yang memberikan jaminan sosial dan pelayanan
sosial dasar maksimal bagi seluruh rakyat Aceh.
Struktur DPP Partai SIRA
Struktur Organisasi
adalah kerangka antar hubungan dari satuan-satuan organisasi atau bidang-bidang
kerja yang didalamnya terdapat pimpinan,
wewenang dan tanggung jawab pada masing-masing personel dalam totalitas
organisasi. Lazimnya struktur oraganisasi akan kelihatan
semakin jelas dan tegas, dalam bagan
struktur organisasi. Ditinjau dari struktur organisasi maka bentuk organisasi
yang dipergunakan dalam DPP Partai SIRA adalah bentuk organisasi fungsional.
Dalam organisasi yang berbentuk fungsional, wewenang dari Ketua Umum
didelegasikan kepada satuan-satuan organisasi atau bidang-bidang kerja yang
dipimpin oleh para Ketua, Sekretaris Jenderal dan Bendahara Umum.
Pimpinan dari setiap
satuan organisasi atau bidang kerja itu mempunyai wewenang dan tanggung jawab
atas pelaksanaan tugas di bidangnya masing-masing. Kemudian secara fungsional
tanggung jawab itu dipertanggung jawabkan oleh pimpinan masing-masing kepada
Ketua Umum.
Susunan
Dewan Pimpinan Pusat Partai terdiri atas :
1. Ketua Umum.
2. Ketua-Ketua.
3. Sekretaris Jenderal.
4. Wakil-Wakil Sekretaris
Jenderal.
5. Bendahara Umum .
6. Wakil-Wakil Bendahara.
7. Ketua-Ketua Departemen.
Visi dan misi Misi Partai SIRA
Partai SIRA adalah jembatan perobahan yang siap
menjembatani dan memperjuangkan perobahan sesuai dengan kebutuhan dan kehidupan
penduduk Aceh. Maka visi terujutnya Aceh Baru yang adil, bermartabat dan
sejahtera menjadi pandangan sejati partai SIRA.
Dengan cita-cita Visi tersebut Partai SIRA telah siap
membawa misi untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan Rakyat Aceh,
mempertahankan perdamaian berkelanjutan,
memperjuangkan Penegakan HAM dan Demokrasi, menciptakan keadilan social dan
kesejahteraan serta melahirkan peradaban yang gemilang
No comments:
Post a Comment