Friday, July 20, 2012

Relakan Aceh Merdeka

KLIPING KORAN
Harian Serambi Indonesia

Tuntutan agar Aceh melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara damai lewat referendum semakin bergema dalam Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau ( 31 Januari/4 Februari 1999) di Banda Aceh.

Sebagian besar peserta forum tersebut, kemarin, secara terang-terangan mengungkapkan keinginan mereka dalam tiga sesi diskusi agenda Kongres itu supaya Aceh direlakan saja merdeka. 

Keinginan untuk segera memisahkan diri dari Republik Indonesia dikarenakan Pemerintahan Jakarta selama ini seolah tak pernah mau mendengar suara hati dan jeritan rakyat Aceh yang terus ditindas. Padahal konstribusi yang telah diberikan Aceh kepada negeri ini sangat besar sejak masa penjajahan melawan Belanda hingga sekarang.


Syarwan, mahasiswa Aceh di Kanada, saat menanggapi masalah otonomi seluas-luasnya yang disampaikan dua pemakalah --Prof Dr Abdullah Ali, MSc dan DR Moersidin Moeklas, SH. MH.--, tadi malam, menegaskan, "Kami tidak setuju dengan otonomi semacam itu, karena hal demikian tak jelas. Nanti pasti ada tahap-tahap yang persoalannya akan panjang lagi. Yang kami inginkan adalah pisah dari RI." 

Sebelumnya pada siang hari, menghadirkan empat pemakalah. Mereka adalah Dr Gade Ismail, MA dan Tgk AR Hasyim yang mengupas mengenai "tinjauan historis dan kultural religius". Sedangkan, Prof Dr HM Hakim Nyak Pha, SH. DEA dan Prof Dr Bahrein T Sugihen, MA menguraikan tentang masalah "HAM dan hukum dalam menyelesaikan kasus Aceh". 

Selama berlangsungnya diskusi yang diikuti oleh ratusan peserta Kongres dari 86 lembaga kemahasiswaan, pemuda, dan para santri itu, tuntutan supaya Aceh segera keluar dari Republik Indonesia dilontarkan secara silih berganti. Para peserta seakan larut dalam keinginannya untuk mengundurkan diri dari pelukan Indonesia dan seolah sudah siap membentuk negara sendiri. 

Setiap masalah referendum dan kemerdekaan itu ditanggapi oleh sang penanya, para peserta Kongres memberikan sambutan cukup meriah dengan tepuk tangan yang disertai pekikan, "Allahu Akbar", sehingga membuat Gedung Tgk Chik Di Tiro --tempat event itu digelar-- seolah 'bergemuruh'. 

Sesi pertama Kongres, kemarin, yang berlangsung pada pukul 09.00- 12.00 WIB, menampilkan dua pembicara yakni Gade Ismail dan Tgk AR Hasyim. Tampil sebagai pemakalah pertama, Gade menguraikan berbagai bentuk perjuangan hingga merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, khusus perjuangan rakyat Aceh, yang memiliki nilai tersendiri dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Karenanya, dalam menjawab berbagai pertanyan dari peserta ahli sejarah yang juga Dosen FKIP Unsyiah ini dengan tangkas memberikan alternatif-alternatif yang dinilai wajar bagi sebuah tuntutan. 

Menurutnya, Kongres yang bertemakan "Menuju Aceh Masa Depan yang Berkeadilan dan Bermartabat" tersebut, perlu dipikirkan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus Aceh. 

Sedangkan, Tgk AR Hasyim menyampaikan sekelumit sejarah tentang Aceh mengapa bergabung dengan RI. Menurutnya, semasa Abu Daud Beureueh memegang peranan penting di Aceh, Tengku Manshur salah seorang tokoh masyarakat Melayu Sumatera-- pernah menawarkan agar Aceh bergabung dalam pembentukan Negara Federasi Sumatera. 

Namun ketika itu, Daud Beureueh menolak tawaran tersebut. Sebab, ia lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Kesatuan RI karena Aceh dijanjikan oleh Presiden Soekarno boleh menjalankan Syariat Islam. Dan penegasan Abu Beureueh itu dapat diterima rakyat Aceh. Ini terbukti dengan kesetiaan yang ditunjukkan rakyat kepada Republik. 

Hasyim yang mengaku ketika itu berumur 25 tahun, belum melihat adanya tanda-tanda ingkar janji Indonesia terhadap Aceh. Karena pemerintahan Soekarno kemudian ingkar janji, Abu Beureueh yang didukung ulama dan rakyat memimpin gerakan DI/TII pada 1953. Dan, akhirnya dia mau turun gunung tapi enggan bergabung dengan RI. 

Sejumlah pertanyaan yang timbul dari peserta dijawab bergantian oleh kedua pembicara itu. Namun, banyak peserta yang kurang puas. Ini terlihat dari pernyataan yang diucapkan oleh M Rizwan --Ketua Senat Mahasiswa Universitas Malikul Saleh Lhokseumawe, Aceh Utara, "Sekarang, kita harus pisah dengan RI karena berbagai persoalan di Aceh tak pernah mendapat tanggapan "Pemerintah Pusat."Bahkan, ada peserta yang terang-terangan menuding pembicara terkesan takut mendukung keinginan rakyat Aceh memerdekakan diri. 

Usul mengundurkan diri dari RI juga dilontarkan Faurizal dari kalangan mahasiswa Unida Banda Aceh, Marwan Nusuf dari unsur mahasiswa Aceh di Malaysia, serta sebagian besar peserta lainnya. Mereka mengajak para peserta untuk menyatukan pola pikir dan menggunakan forum emas tersebut untuk memperjuangkan kemerdekaan Aceh. 

Seusai sesi pertama, kegiatan Kongres dihentikan sementara yang dilanjutkan dengan makan bersama dan Shalat Zhuhur. Acara itu kembali dilanjutkan pada pukul 13.30-17.30 WIB. Di sesi kedua ini, tampil pembawa makalah Hakim Nyak Pha dan Bahrein T Sugihen. Suasana acara diskusi tidak jauh berbeda seperti ketika berlangsungnya sesi pertama. 

Usai mengupas beberapa aspek hukum dan kemasyarakatan, para peserta tetap menyatakan keinginannya untuk memisahkan diri dari Indonesia. Mereka juga mempersoalkan kasus-kasus pelanggaran HAM semasa DOM yang tidak pernah tuntas ditangani oleh Pemerintah. Ini terbukti dari kasus pembantaian rakyat Aceh dan pemerkosa wanita Aceh belum juga diadili. Ribuan nyawa telah melayang tanpa pertanggungjawaban. Penguasa di pusat dan daerah, seolah tak mau tau tentang kejadian itu dan sangat menjengkelkan peserta Kongres. 

Karenanya, Syamsuddin Mahmud selaku Gubernur Aceh diminta mengundurkan diri apabila dia tidak berani meminta kemerdekaan Aceh ke Jakarta. 
(nuh/rs/ed) 

No comments:

Post a Comment