Ahmad Syamil
Tue, 17 Oct 2000 17:50:57 -0700
----- Original Message ----- From: Indira Abidin <[EMAIL PROTECTED]>
Tue, 17 Oct 2000 17:50:57 -0700
----- Original Message ----- From: Indira Abidin <[EMAIL PROTECTED]>
Boston, 17 Oktober 2000 Pada siang hari ini Kenedy School of Government, Harvard Unviersity kedatangan dua pembicara dari Aceh, Cut Nur Asyikin dari Yayasan Srikandi Aceh dan Syadiah Marhaban dari SIRA (Sumber Informasi Referendum Aceh). Kedatangan mereka adalah untuk menggugah perhatian dunia internasional untuk menolong rakyat Aceh yang telah sekian lama tertindas. "Hampir semua rakyat Aceh sekarang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia. Sudah terlalu lama kami menderita, dibunuh, diperkosa, disiksa di depan keluarga sendiri. Anak disuruh menyaksikan bapaknya disayat-sayat dan ibunya diperkosa dan kemudian disuruh memperkosa ibunya sendiri. Ratusan rumah dibakar, tak ada lagi yang bisa mencari makan karena kemanapun rakyat pergi, pasti dibunuh. Hal itu tak boleh dibiarkan hanya demi kesatuan negara," papar Cut Nur Asyikin. Cut Nur Asyikin yang sehari-harinya mengelola hotel di Aceh berkeliling Amerika dengan biaya sendiri untuk mendapatkan bantuan Amerika dalam bentuk: - kunjungan resmi pemerintah untuk menyaksikan pelanggaran hak azasi manusia di Aceh. - tekanan terhadap pemerintah Indonesia untuk menarik semua pasukan yang telah menindas rakyat Aceh - bantuan kemanusiaan dan obat-obatan - intervensi internasional untuk menghentikan konflik di Aceh - dukungan pemerintah Amerika Serikat dalam usaha pelaksanaan referendum di Aceh untuk menentukan nasib rakyat Aceh. Konflik di Aceh dimulai ketika GAM memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1986. Pemerintah Indonesia pada saat itu mengerahkan TNI untuk menumpas gerakan tersebut. Menurut Cut Nur Asyikin, pada saat itu seharusnya TNI mengambil hati rakyat dengan melindungi rakyat. Yang terjadi adalah sebaliknya, saat itu merupakan awal penindasan terhadap rakyat Aceh. Rakyat Aceh yang selama bertahun-tahun ditindas merasa TNI adalah musuh mereka dan kemudian berpihak pada GAM yang pada awalnya tak memiliki kekuatan yang besar. Saat ini dibedakan antara AGAM, para militan yang memanggul senjata dan GAM yang tak memanggul senjata. "GAM itu ya sekarang semua rakyat Aceh," kata Cut Nur Asyikin. Pada saat ini rakyat kecil di Aceh amat sulit mencari penghidupan. Mereka tak dapat ke gunung untuk bercocok tanam, karena akan disangka AGAM, dan tak dapat pula ke laut untuk memancing ikan, karena akan disangka menyelundupkan senjata. Angka pengangguran di Aceh mencapai 85%. Sekolah-sekolah sudah hampir 2 tahun tak berfungsi karena habis dibakar. Rakyat tinggal di 5-6 kamp pengungsian, di mana terdapat kurang lebih 13.000-14.000 pengungsi. Mesjid-mesjid sudah banyak yang habis terbakar, mayat-mayat yang gugur tiap hari pun tak dapat lagi diurus dengan baik. Menurut berita yang sampai kepada pembicara, tentara yang ditarik dari Timor Timur sekarang dikirim ke Aceh, yang kebanyakan adalah para tentara muda yang telah diindoktrinasi bahwa semua rakyat Aceh harus dibunuh. Hal itulah yang mungkin menyebabkan kebrutalan dan kekejaman yang mereka lakukan. Menurut Dicky Sofyan, penerima beasiswa Fulbright dari Northeastern Unviersity yang juga menghadiri diskusi tersebut, kekuatan militer tersebut tak lagi dapat dikendalikan oleh pemerintah pusat. Ada persekongkolan antara perusahaan-perusahaan asing yang telah sekian lama mengambil keuntungan di Aceh dan kekuatan militer tersebut. Dengan demikian, tekanan terhadap pemerintah pusat belum tentu dapat secara efektif mencegah penindasan militer. Tak terlalu banyak bantuan kemanusiaan yang ada di Aceh saat ini. Oxfam, sebuah LSM internasional yang berpusat di Inggris, telah mengirimkan bantuan bagi para pengungsi, tetapi kemudian ditarik kembali karena ada salah satu pekerjanya yang terbunuh. Negara-negara tetangga, kecuali Australia, agak segan memberikan bantuan karena segan terhadap pemerintah Indonesia. Hanya Thailand yang secara aktif memberikan perhatian terhadap keadaan di Aceh. Informasi mengenai Aceh tak banyak beredar secara luas karena banyak aktivis Aceh yang disiksa secara mengenaskan karena menyebarkan berita mengenai Aceh. Melihat Pak Sudrajat Djiwandono, mantan Direktur BI yang hadir di kesempatan tersebut, Cut Nur Asykin pun sempat ketakutan akan dilaporkan keberadaannya pada acara tersebut. Trauma terhadap kekuasaan mungkin telah begitu mengakar dalam pemikirannya. Di akhir acara, saya sempat berkata mewakili sebagian rakyat Indonesia yang sangat menyayangkan terjadinya penindasan tersebut dan kecilnya perhatian bangsa Indonesia sendiri pada penderitaan rakyat Aceh. Saya pun menyampaikan harapan saya yang saya tahu juga merupakan harapan banyak rakyat Indonesia bahwa diskusi secara damai dapat berlangsung dan win-win situation dapat tercapai. Menanggapi pernyataan tersebut, Syadiah Marhaban, yang juga menjadi penerjemah bagi Cut Nur Asykin, berkata, "Kami berterima kasih atas segala harapan tersebut, tapi biarkanlah kami menentukan nasib kami sendiri." Daun-daun di halaman Kenedy School of Government sudah banyak berguguran, menciptakan nuansa warna musim gugur yang sangat indah. Tapi gugurnya daun-daun tersebut juga mengingatkan Pak Drajat, Mas Dicky dan saya akan gugurnya saudara-saudara kami dan penderitaan mereka, sehingga tak ada keindahan yang dapat dinikmati siang tadi. Apa yang dapat kita lakukan bersama sebagai mahasiswa Indonesia di luar negeri? Apakah cukup kita menyaksikan para mahasiswa Harvard membentuk student coalition for Aceh? Indira Abidin
No comments:
Post a Comment