Friday, November 16, 2012

Aceh: Sebuah Tantangan Bagi Usaha Kemanusiaan

Ahmad Syamil
Tue, 17 Oct 2000 17:50:57 -0700
----- Original Message ----- From: Indira Abidin <[EMAIL PROTECTED]>
Boston, 17 Oktober 2000
Pada siang hari ini Kenedy School of Government, Harvard Unviersity
kedatangan dua pembicara dari Aceh, Cut Nur Asyikin dari Yayasan Srikandi
Aceh dan Syadiah Marhaban dari SIRA (Sumber Informasi Referendum Aceh).
Kedatangan mereka adalah untuk menggugah perhatian dunia internasional untuk
menolong rakyat Aceh yang telah sekian lama tertindas.

"Hampir semua rakyat Aceh sekarang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia.
Sudah terlalu lama kami menderita, dibunuh, diperkosa, disiksa di depan
keluarga sendiri. Anak disuruh menyaksikan bapaknya disayat-sayat dan ibunya
diperkosa dan kemudian disuruh memperkosa ibunya sendiri. Ratusan rumah
dibakar, tak ada lagi yang bisa mencari makan karena kemanapun rakyat pergi,
pasti dibunuh. Hal itu tak boleh dibiarkan hanya demi kesatuan negara,"
papar Cut Nur Asyikin. Cut Nur Asyikin yang sehari-harinya mengelola hotel
di Aceh berkeliling Amerika dengan biaya sendiri untuk mendapatkan bantuan
Amerika dalam bentuk:
- kunjungan resmi pemerintah untuk menyaksikan pelanggaran hak azasi manusia
di Aceh.
- tekanan terhadap pemerintah Indonesia untuk menarik semua pasukan yang
telah menindas rakyat Aceh
- bantuan kemanusiaan dan obat-obatan
- intervensi internasional untuk menghentikan konflik di Aceh
- dukungan pemerintah Amerika Serikat dalam usaha pelaksanaan referendum di
Aceh untuk menentukan nasib rakyat Aceh.

Konflik di Aceh dimulai ketika GAM memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun
1986. Pemerintah Indonesia pada saat itu mengerahkan TNI untuk menumpas
gerakan tersebut. Menurut Cut Nur Asyikin, pada saat itu seharusnya TNI
mengambil hati rakyat dengan melindungi rakyat. Yang terjadi adalah
sebaliknya, saat itu merupakan awal penindasan terhadap rakyat Aceh.

Rakyat Aceh yang selama bertahun-tahun ditindas merasa TNI adalah musuh
mereka dan kemudian berpihak pada GAM yang pada awalnya tak memiliki
kekuatan yang besar. Saat ini dibedakan antara AGAM, para militan yang
memanggul senjata dan GAM yang tak memanggul senjata. "GAM itu ya sekarang
semua rakyat Aceh," kata Cut Nur Asyikin.

Pada saat ini rakyat kecil di Aceh amat sulit mencari penghidupan. Mereka
tak dapat ke gunung untuk bercocok tanam, karena akan disangka AGAM, dan tak
dapat pula ke laut untuk memancing ikan, karena akan disangka menyelundupkan
senjata. Angka pengangguran di Aceh mencapai 85%. Sekolah-sekolah sudah
hampir 2 tahun tak berfungsi karena habis dibakar. Rakyat tinggal di 5-6
kamp pengungsian, di mana terdapat kurang lebih 13.000-14.000 pengungsi.
Mesjid-mesjid sudah banyak yang habis terbakar, mayat-mayat yang gugur tiap
hari pun tak dapat lagi diurus dengan baik.

Menurut berita yang sampai kepada pembicara, tentara yang ditarik dari Timor
Timur sekarang dikirim ke Aceh, yang kebanyakan adalah para tentara muda
yang telah diindoktrinasi bahwa semua rakyat Aceh harus dibunuh. Hal itulah
yang mungkin menyebabkan kebrutalan dan kekejaman yang mereka lakukan.

Menurut Dicky Sofyan, penerima beasiswa Fulbright dari Northeastern
Unviersity yang juga menghadiri diskusi tersebut, kekuatan militer tersebut
tak lagi dapat dikendalikan oleh pemerintah pusat. Ada persekongkolan antara
perusahaan-perusahaan asing yang telah sekian lama mengambil keuntungan di
Aceh dan kekuatan militer tersebut. Dengan demikian, tekanan terhadap
pemerintah pusat belum tentu dapat secara efektif mencegah penindasan
militer.

Tak terlalu banyak bantuan kemanusiaan yang ada di Aceh saat ini. Oxfam,
sebuah LSM internasional yang berpusat di Inggris, telah mengirimkan bantuan
bagi para pengungsi, tetapi kemudian ditarik kembali karena ada salah satu
pekerjanya yang terbunuh. Negara-negara tetangga, kecuali Australia, agak
segan memberikan bantuan karena segan terhadap pemerintah Indonesia. Hanya
Thailand yang secara aktif memberikan perhatian terhadap keadaan di Aceh.

Informasi mengenai Aceh tak banyak beredar secara luas karena banyak aktivis
Aceh yang disiksa secara mengenaskan karena menyebarkan berita mengenai
Aceh. Melihat Pak Sudrajat Djiwandono, mantan Direktur BI yang hadir di
kesempatan tersebut, Cut Nur Asykin pun sempat ketakutan akan dilaporkan
keberadaannya pada acara tersebut. Trauma terhadap kekuasaan mungkin telah
begitu mengakar dalam pemikirannya.

Di akhir acara, saya sempat berkata mewakili sebagian rakyat Indonesia yang
sangat menyayangkan terjadinya penindasan tersebut dan kecilnya perhatian
bangsa Indonesia sendiri pada penderitaan rakyat Aceh. Saya pun menyampaikan
harapan saya yang saya tahu juga merupakan harapan banyak rakyat Indonesia
bahwa diskusi secara damai dapat berlangsung dan win-win situation dapat
tercapai.
Menanggapi pernyataan tersebut, Syadiah Marhaban, yang juga menjadi
penerjemah bagi Cut Nur Asykin, berkata, "Kami berterima kasih atas segala
harapan tersebut, tapi biarkanlah kami menentukan nasib kami sendiri."

Daun-daun di halaman Kenedy School of Government sudah banyak berguguran,
menciptakan nuansa warna musim gugur yang sangat indah. Tapi gugurnya
daun-daun tersebut juga mengingatkan Pak Drajat, Mas Dicky dan saya akan
gugurnya saudara-saudara kami dan penderitaan mereka, sehingga tak ada
keindahan yang dapat dinikmati siang tadi. Apa yang dapat kita lakukan
bersama sebagai mahasiswa Indonesia di luar negeri? Apakah cukup kita
menyaksikan para mahasiswa Harvard membentuk student coalition for Aceh?

Indira Abidin

No comments:

Post a Comment