Sumber : Harian Serambi Indonesia
Senin, 1 Juli 2013
Oleh Faurizal Moechtar
Faurizal Moechtar, ST, MM, Aktivis SIRA 1998, dan Pemerhati Sosial Politik dan Kemasyarakatan. Email: faurizal@gmail.com
Senin, 1 Juli 2013
Oleh Faurizal Moechtar
SEKILAS,
ketika kita mendengar istilah “polisi tidur”, yang terbayang adalah
seorang polisi yang sedang tidur-tiduran. Namun, menurut Wikipedia
Indonesia, “polisi tidur” atau yang disebut juga “alat pembatas
kecepatan” adalah bagian jalan yang ditinggikan berupa tambahan aspal
atau semen, yang dipasang melintang di jalan sebagai pertanda untuk
memperlambat laju/kecepatan kendaraan.
Tidak jelas siapa dan
kapan istilah “polisi tidur” itu dipopulerkan. Namun, yang pasti
pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sebuah peraturan terkait dengan
alat pembatas kecepatan ini, melalui Keputusan Menteri Perhubungan
(Menhub) RI Nomor KM.3 Tahun 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman
Pemakai Jalan.
Dalam keputusan Menhub tersebut tidak ada istilah
“polisi tidur”, yang ada adalah alat pembatas kecepatan yaitu berupa
peninggian sebagian badan jalan yang melintang terhadap sumbu jalan
dengan lebar, tinggi dan kelandaian yang telah ditentukan.
Aturanya
alat pembatas kecepatan itu dibuat oleh Peyelenggara Alat Pengendali
dan Pengaman Pemakai Jalan, yang telah dibekali dengan aturan-aturan
yang telah ditetapkan. Namun, seperti banyak terlihat di sejumlah ruas
jalan di Aceh, tidak sedikit gundukan semen yang melintang tidak
beraturan di atas badan jalan.
Tujuan awal pembuatan polisi tidur
adalah untuk mengurangi kecepatan pengendara di tempat-tempat tertentu
untuk keselamatan dan kenyamanan bersama. Namun, nyatanya kehadiran
“polisi tidur” justru kerap membuat pengendara kenderaan bermotor merasa
tidak nyaman. Bahkan, tidak sedikit pengendara sepeda motor yang jatuh
terpental karena “polisi tidur” yang dibuat tidak mengikuti
aturan-atauran yang berlaku.
Anehnya lagi pemerintah daerah
terkesan membenarkan polisi tidur dibuat oleh orang-orang yang bukan
peneyelenggara jalan, hal ini terindikasi dengan munculnya sejumlah
polisi tidur yang tinggi, besarnya dan penepatannya tidak mengikuti
kaedah-kaedah yang telah diataur. Oleh karena itu adalah wajar ketika
Ulama Samarinda mengambil alih dan mengeluarkan fatwa haram terhadap
polisi tidur.
Menurut UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Raya, Pasal 28 ayat (1): “Setiap orang dilarang
melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan
fungsi jalan.” Ketentuan pidana terhadap pelanggaran pasal ini akan
dipidana paling lama 1 (satu) tahun penjara atau denda paling banyak Rp
24 juta, yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 274 ayat (1) dan ayat (2)
UU No.22 Tahun 2009.
Jalan berlubang
Ketika
kita berani menyebut nama “polisi tidur” untuk gundukan/peninggian
sebagian badan jalan yang melintang terhadap sumbu jalan, tidak salah
rasanya kita beri nama “polwan tidur” untuk jalan berlubang.
Pemberian
nama ‘polwan tidur” untuk jalan berlubang bukan tidak beralasan,
setidaknya untuk membedakan antara jalan yang sengaja ditinggingkan
dengan jalan yang tidak sengaja berlubang, namun kedua-duanya menjadi
penghambat laju kendaraan.
Seperti halnya “polisi tidur” yang
dibuat tidak beraturan oleh masyarakat, jalan berlubang juga jika
dibiarkan akan memjadi malapetaka bagi pengguna jalan.
Agar tidak
terkesan salah penafsiran seperti halnya “polisi tidur”, maka “polwan
tidur” bila dimaknai secara harfiah adalah polisi wanita (Polwan), yang
sedang tidur-tiduran, yaitu polisi yang bertugas menngawasi dan
menangkap wanita-wanita yang sedang tidur tidak beraturan.
Sedangkan
“polwan tidur” yang penulis maksud adalah Jalan berlobang untuk
membedakan dengan istilah Polisi tidur yang selama ini digunakan sebagai
kata ganti Alat Pembatas Kecepatan yang berupa peninggian sebagian
badan jalan oleh penyelenggara jalan.
Larangan yang termaktub
dalam Pasal 28 ayat (1) UU No.22 Tahun 2009 ditujukan kepada orang-orang
yang sengaja dan sadar membuat rusaknya fungsi jalan. Lalu bagaimana
dengan peyelenggara jalan yang tidak terencana dan mengakibatkan
terganggunya fungsi jalan, misalnya, jalan berlubang karena bencana
alam?
Pada akhir 2006, di seputaran lintas Gunung Seulawah,
penulis sempat menolong seorang yang terkapar pingsan karena sepeda
motornya terperosok kedalam lubang yang menganga di atas badan jalan.
Sebagian orang menganggap kecalakaan ini sepenuhnya salah si pengendara
sepeda motor yang tidak hati-hati.
Kecelakaan lalu lintas karena
jalan yang rusak tidak sepenuhnyan salah pengendara kendaraan, karena
pemerintah telah menjamin keselamatan dan kenyamanan penggunan jalan
dengan mengeluarkan UU No.22 Tahun 2009 Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2),
di mana penyelenggara jalan wajib segera dan patut memperbaiki jalan
yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dan apabila
belum dapat dilakukan perbaikan, maka penyelenggara jalan wajib memberi
tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya
kecelakaan lalu lintas.
Terkait dengan hal di atas setiap warga
atau pengguna jalan yang mengalami kecelakaan lalu lintas, akibat
rusaknya jalanan berhak mengajukan tuntutan secara pidana kepada
penyelenggara jalan, yang dalam hal ini adalah pemerintah daerah melalui
Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga setempat.
Faurizal Moechtar, ST, MM, Aktivis SIRA 1998, dan Pemerhati Sosial Politik dan Kemasyarakatan. Email: faurizal@gmail.com
No comments:
Post a Comment