Thursday, July 4, 2013

"Polisi Tidur"

Sumber : Harian Serambi Indonesia
Senin, 1 Juli 2013

Oleh Faurizal Moechtar

SEKILAS, ketika kita mendengar istilah “polisi tidur”, yang terbayang adalah seorang polisi yang sedang tidur-tiduran. Namun, menurut Wikipedia Indonesia, “polisi tidur” atau yang disebut juga “alat pembatas kecepatan” adalah bagian jalan yang ditinggikan berupa tambahan aspal atau semen, yang dipasang melintang di jalan sebagai pertanda untuk memperlambat laju/kecepatan kendaraan.
Tidak jelas siapa dan kapan istilah “polisi tidur” itu dipopulerkan. Namun, yang pasti pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sebuah peraturan terkait dengan alat pembatas kecepatan ini, melalui Keputusan Menteri Perhubungan (Menhub) RI Nomor KM.3 Tahun 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan.


Dalam keputusan Menhub tersebut tidak ada istilah “polisi tidur”, yang ada adalah alat pembatas kecepatan yaitu berupa peninggian sebagian badan jalan yang melintang terhadap sumbu jalan dengan lebar, tinggi dan kelandaian yang telah ditentukan.

Aturanya alat pembatas kecepatan itu dibuat oleh Peyelenggara Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan, yang telah dibekali dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Namun, seperti banyak terlihat di sejumlah ruas jalan di Aceh, tidak sedikit gundukan semen yang melintang tidak beraturan di atas badan jalan.

Tujuan awal pembuatan polisi tidur adalah untuk mengurangi kecepatan pengendara di tempat-tempat tertentu untuk keselamatan dan kenyamanan bersama. Namun, nyatanya kehadiran “polisi tidur” justru kerap membuat pengendara kenderaan bermotor merasa tidak nyaman. Bahkan, tidak sedikit pengendara sepeda motor yang jatuh terpental karena “polisi tidur” yang dibuat tidak mengikuti aturan-atauran yang berlaku.

Anehnya lagi pemerintah daerah terkesan membenarkan polisi tidur dibuat oleh orang-orang yang bukan peneyelenggara jalan, hal ini terindikasi dengan munculnya sejumlah polisi tidur yang tinggi, besarnya dan penepatannya tidak mengikuti kaedah-kaedah yang telah diataur. Oleh karena itu adalah wajar ketika Ulama Samarinda mengambil alih dan mengeluarkan fatwa haram terhadap polisi tidur.
Menurut UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, Pasal 28 ayat (1): “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi jalan.” Ketentuan pidana terhadap pelanggaran pasal ini akan dipidana paling lama 1 (satu) tahun penjara atau denda paling banyak Rp 24 juta, yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 274 ayat (1) dan ayat (2) UU No.22 Tahun 2009.

Jalan berlubang
Ketika kita berani menyebut nama “polisi tidur” untuk gundukan/peninggian sebagian badan jalan yang melintang terhadap sumbu jalan, tidak salah rasanya kita beri nama “polwan tidur” untuk jalan berlubang.

Pemberian nama ‘polwan tidur” untuk jalan berlubang bukan tidak beralasan, setidaknya untuk membedakan antara jalan yang sengaja ditinggingkan dengan jalan yang tidak sengaja berlubang, namun kedua-duanya menjadi penghambat laju kendaraan.

Seperti halnya “polisi tidur” yang dibuat tidak beraturan oleh masyarakat, jalan berlubang juga jika dibiarkan akan memjadi malapetaka bagi pengguna jalan.

Agar tidak terkesan salah penafsiran seperti halnya “polisi tidur”, maka “polwan tidur” bila dimaknai secara harfiah adalah polisi wanita (Polwan), yang sedang tidur-tiduran, yaitu polisi yang bertugas menngawasi dan menangkap wanita-wanita yang sedang tidur tidak beraturan.

Sedangkan “polwan tidur” yang penulis maksud adalah Jalan berlobang untuk membedakan dengan istilah Polisi tidur yang selama ini digunakan sebagai kata ganti Alat Pembatas Kecepatan yang berupa peninggian sebagian badan jalan oleh penyelenggara jalan.

Larangan yang termaktub dalam Pasal 28 ayat (1) UU No.22 Tahun 2009 ditujukan kepada orang-orang yang sengaja dan sadar membuat rusaknya fungsi jalan. Lalu bagaimana dengan peyelenggara jalan yang tidak terencana dan mengakibatkan terganggunya fungsi jalan, misalnya, jalan berlubang karena bencana alam?

Pada akhir 2006, di seputaran lintas Gunung Seulawah, penulis sempat menolong seorang yang terkapar pingsan karena sepeda motornya terperosok kedalam lubang yang menganga di atas badan jalan. Sebagian orang menganggap kecalakaan ini sepenuhnya salah si pengendara sepeda motor yang tidak hati-hati.

Kecelakaan lalu lintas karena jalan yang rusak tidak sepenuhnyan salah pengendara kendaraan, karena pemerintah telah menjamin keselamatan dan kenyamanan penggunan jalan dengan mengeluarkan UU No.22 Tahun 2009 Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), di mana penyelenggara jalan wajib segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dan apabila belum dapat dilakukan perbaikan, maka penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Terkait dengan hal di atas setiap warga atau pengguna jalan yang mengalami kecelakaan lalu lintas, akibat rusaknya jalanan berhak mengajukan tuntutan secara pidana kepada penyelenggara jalan, yang dalam hal ini adalah pemerintah daerah melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga setempat.

Faurizal Moechtar, ST, MM, Aktivis SIRA 1998, dan Pemerhati Sosial Politik dan Kemasyarakatan. Email: faurizal@gmail.com


No comments:

Post a Comment