Wednesday, July 18, 2012

Hari-Hari Terakhir Bersama Cut Nur Asikin

Oleh : Faurizal Moechtar.

Saban hari aku bersama kawan-kawan aktivis kemanusian 98 mengunjungi Cut Nur Asikin di LP (Lembaga Permayarakatan) lhoknga Aceh Besar, disamping keinginan ku sendiri aku juga mendapakat tugas dari kawan-kawan Aktivis Pro-demokrasi dan Peduli Kemanusian sebagai penghubung di Aceh. Ya..paling tidak diam-diam aku bisa mengorganisir logistik dan obat-obatan, disamping itu aku bersama teman-teman ku yang bertahan di Aceh pada masa Darurat Militer dapat mengakses informasi secara langsung dan bahkan mengantar Wartawan luar dan dalam negeri untuk dapat menemui Gerilyawan Gerakan Aceh Mardeka dan korban konflik, terutama di kawasan Aceh Besar, termasuk ke LP lhoknga.

Suatu hari ketika aku dan teman-temanku ke LP lhoknga, Sambil bergurau Cut Nur Asikin mendesakku untuk bekerluarga “Teungku Faurizal sigra neumeukawen, ureung Aceh lee that yang ka kabeh umu, jadi aneuk muda yang ka troh umu ka jeut meukaween mandum, mangat na generasi baro, nyo nanggroe ka rab meu asee, awak lua rab itamong, bek sampee gob nyang cok wasee”. ( Faurizal harus segara bekeluarga, banyak sekali orang Aceh yang sudah meningal, konflik hampir berakhir, semua anak muda harus berkeluarga biar ada generasi baru untuk melanjutkan perjuangan).

Entah karena aku agak sedikit lugu memahami perkataan ‘tawanan Perang’ ini, tujuh hari sebelum Stunami aku sempat meperkenalkan seorang gadis cantik, Mahasiswi IAIN yang juga Aktivis Kemanusian dari PEMRAKA, Namanya Badriati, dengan malu-malu aku mengatakan “Nyo calon Peureumoh Cut Nur”(Ini calon istri saya Cut Nur). Cut Nur Asikin yang dikenal kocak sambil bercanda melanjutkan “Nyan beubagah-bagah laju, beuna aneuk meusilusen, nyang Agam beujet keu Panglima nyang Inoeng beujeut keu Srikandi”.( ya..segera ke anjang pernikahan, semoga banyak anak sampai satu lusin, yang laki-laki jadi panglima dan yang perempuan jadi Srikandi).


Esok harinya, seperti biasa, aku bersama kawan-kawan selalu merencanakan aktivitas kemanusian, walaupun ada yang menunding kegiatan kami cendrung sparatis kami tetap dengan kenyakinan kami sendiri. Yang membuat aku mudah memobilisasi diri dalam darurat meliter aku di bantu oleh sahabat ku Basri dan Pak Ismet Nur, Basri dan Pak Ismet Nur keduanya adalah aktivis kemanusiaan dari PERTISA (Persatuan Tiga Roda Seluru Aceh). Kami menganggap Gerakan Pak Ismet Nur dan Bang Basri tidak terbaca oleh intelijen negara, karena hari-hari beliau berkerja sebagai tukang becak. Dan yang membuat aku lebih percaya diri dalam aksi-aksi ku di waktu itu, aku merasa teradvokasi karena aku selalu berdiskusi dengan Ibu Maryati SH.M.Hum, adalah pakar hukum Internasional dari Universitas Abulyatama Aceh.

Semua aktivitas peduli kemanusian itu, sebelum dievakuasi kami organisir dirumah Cut Fatma Dahlia, Cut Fatma Dahlia dan Ibu Maryati, SH.M.Hum keduanya juga aktivis SPURA (Solidaritas Perempuan Untuk Rakyat Aceh) yaitu lembaga dipimpin oleh Cut Nur Asikin. Disamping itu kami juga ditemani oleh seorang aktivis dari Buffer Aksi PM (Perempuan Mardeka), kami memanggilnya Kak Dar, Kak Dar berkerja siang malam bersama kami, suatu hari beliau pergi dan kemudian kami mendapat informasi bahwa beliau telah tiada.

Hari-hari kami selalu berupaya bisa menemani Cut Nur Asikin dalam penjara secara bergilran, Cut Nur Asikin tidak merasa kesepian, disamping selalu di kunjungi oleh sanak keluarga juga banyak dikunjungi oleh masyarakat simpatisan beliau miskipun harus menyamar sebagai keluarga.

Banyak hal yang patut diteladani dari Cut Nur Asikin, beliau selain pejuang yang juga dikenal sebagai saudagar, dalam tahanan Naluri bisnisnya bangkit, beliau mengelola Bisnis Perhotelan dan usaha-usahanya jarak jauh, diam-diam beliau sempat berjualan dalam penjara, menjual Sayur ikan, kerupuk, peyek dan kacang-kacangan yang dipesan dari keluarganya setiap hari.

Semangat Cut Nur Asikin luar biasa, entah hanya unuk menghiburkan diri atau memang beliau menyakini Bahwa Konflik ini akan segera berakhir, pada hal beliau divonis oleh hakim delapan tahun kurungan dengan tuduhan terlibat Gerakan Aceh mardeka. Kepada siapa saja tamu yang akan datang beliau salalu mengatakan “bek susah wak droneuh, sibak rukok treuk sagai, dua uroe treuk ka ditamong awak lua jak bantu Aceh, tanyo akan bibeuh mandum”. (tidak Perlu Risau, semua akan berakhir, tingal sebatang rokok lagi, dalam waktu dekat aka ada intervensi dunia, kita akan bebas semua”.

Namum apa boleh buat, belum lagi cita-cita perjuangan yang di impikan oleh Cut Nur Asikin dan perjuang-pejuang lainya sampai, Allah sudak bekehendak lain, Cut Nur Asikin berpulang ke Rahmatullah bersamaan dangan ribuan rakyat Aceh akiban bencana alam Gempa Bumi dan Gelombang Stunami menimpa Aceh pada tanggal 26 Desember 2004.

Tiga hari kemudian setelah Stunami melanda Aceh, sejumlah tentara dari bebagi Negara sudah berada di Aceh lengkap dengan kapal induk, pesawat terbang, alat berat truk transportasi darat. Selain membawa peralatan untuk evakuasi korban juga membawa obat-obatan dan makanan. Kesanya seperti seperti persiapan kemerdekaan yang didukung oleh berbagai Negara. Oleh karena itu aku sempat berfikir.. apakah ini yang dimaksud oleh Cut Nur Asikin ‘dua uroe treuk troh awak lua jak bantu tanyo’..?(Dalam watu dekat akan datang bantuan untuk kita.

Alhamdulillah Kami (Cut Fatma, Bu Maryati, Bang Basri danPak Ismet) selamat dari tsunami, walaupun saya sempat dibawa arus dan tersangkut dipepohonan seputar kawasan simpang jam, setelah membantu keluarga masing-masing, kami menyempatka diri ke, Penjara lhoknga, ternyata Bangunan Penjara rata dengan tanah, Cut Nur Asikin hilang tanpa jejak.

Bebarapa hari kemudian teman-teman kami yang diadvokasi ke pulau jawa oleh sejumlah NGO peduli HAM karena di-DPO-kan oleh peunguasa darurat militer diam-diam mengirim Williem Nessen. bersama Wiliyem Nessen yang didampingi Oleh Dolly kami berulangkali ke LP lhoknga untuk mencari jejak Cut Nur Asikin, dan hasilnya nihil. Bahkan saya dan Wiliyem Nessen sempat bebrapa kali kerumah Cut Nur Asikin, siapa tahu beliau selamat dan pulang kerumahnya di kawasan lam pulo. Wiliyem Nessen juga mengajak saya ke Polda Aceh dimana dia pernah ditahan bebarapa hari “disini saya ditahan” kata Williyem Nessen dengan dialek Amerikanya.

Kini Cut Nur Asikin telah tiada bersama sejumlah Syuhada-syuhada lainya, aku pun telah berkeluaga, bantuan Negara luar pun telah tiba, kita semua sudah bebas beribadah dan mencari rezki, semoga Sosok pejuang ikhlas ini diterima disisi Allah SWT. Amin.

No comments:

Post a Comment