Hampir 50 ribu tentara dikirim ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Uang Rp 1,23 triliun siap dibelanjakan untuk pelaksanaan operasi
keamanan di propinsi itu. Pemerintah Jakarta sudah siap menghancurkan
kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di “rumah mereka”. Masalahnya, otak
gerakan itu, Hasan Muhammad di Tiro, tidak berada di rumah. Hasan Tiro
-begitu dia lebih dikenal- berada di Swedia, sebuah negara di belahan
Eropa.
Mengirim tentara ke Swedia tentu mustahil. Pemerintah Indonesia pun
meminta penguasa di Swedia untuk menghukum Hasan Tiro. Tokoh ini disebut
mensponsori gerakan pemisahan diri di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Sayangnya, permintaan itu sepertinya tidak digubris. Mereka
beralasan, tidak punya bukti kongrit keterkaitan warga negaranya, Hasan
Tiro, dengan GAM.
Siapa Hasan Tiro? Hasan merupakan pendeklarasi kemerdekaan Aceh pada 4
Desember 1976. Dia ikut keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada 1976
untuk memisahkan diri dari Indonesia. Perjuangannya itu hanya
berlangusng tiga tahun. Karena serangan tentara Indonesia yang tak
tertahankan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap
di Stockholm, ibukota Swedia.
Setelah jatuhnya Soeharto, isu Aceh merdeka kembali menjadi sorotan
dunia. Organisasinya (Gerakan Aceh Merdeka) muncul ke pentas
internasional. Hasan Tiro pernah dan menandatangani deklarasi berdirinya
Negara Aceh Sumatra, pada akhir 2002. Dia juga menandatangani surat
perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa Kofi Annan pada 25 Januari 1999. Dalam berbagai
perundingan damai antara RI dan GAM, restu Hasan Tiro selalu ditunggu.
Pengakuan orang Aceh terhadap Hasan bukan hanya karena perjuangannya.
Dalam tubuhnya mengalir darah biru para pejuang Aceh. Hasan lahir di
Pidie, Aceh, pada 4 September 1930 di Kampung Tiro, sekitar 20 km dari
Sigli. Dia adalah keturunan ketiga Tengku Syeh Muhammad Saman di Tiro.
Hasan merupakan anak kedua pasangan Tengku Pocut Fatimah dan Tengku
Muhammad Hasan. Tengku Pocut inilah cucu perempuan Tengku Muhammad Saman
di Tiro.
Kepemimpinan dalam birokrasi Aceh merdeka merupakan sebuah takhta yang
turun-temurun. Ceritanya berawal dari wafatnya Sultan Muhammad Daud
Shah, sultan Kerajaan Iskandar Muda yang terakhir, pada 1874, karena
berperang melawan Belanda. Karena anak sultan baru berusia 12 tahun,
suksesi macet. Di tengah gentingnya suasana perang, kekuasaan diserahkan
ke Tengku Muhammad Saman di Tiro (kakek buyut Hasan di Tiro) sebagai
wali negara sekaligus panglima perang.
Karena posisinya sebagai keturunan Tengku Saman di Tiro itulah ia
memegang kendali Gerakan Aceh Merdeka. Darah biru itu kemudian diperkaya
dengan ilmu hukum internasional yang ditimbanya di Universitas
Colombia, Amerika Serikat, hingga meraih gelar doktor. Deklarasi
kemerdekaan pada 1976, menghidupkan kembali ide Aceh yang sepenuhnya
terpisah dari Indonesia. Pada tahun itu Hasan datang kembali ke Aceh
setelah selama 25 tahun meninggalkannya. Di Aceh, sejumlah tokoh yang
sebelumnya telah lama bergerilya melawan tentara Indonesia, seperti Daud
Paneuk dan Tengku Haji Ilyas Leube, menyambut kedatangan sang pemimpin.
Sikap keras Hasan Tiro yang menolak Indonesia merupakan perubahan besar
dibanding era sebelumnya. Sebelum berangkat ke Amerika pada 1950, dia
terlibat aktif dalam berbagai organisasi keindonesiaan. Ia, bersama
abangnya, Zainul Abidin, aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI).
Hasan bahkan pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945.
Ketika Wakil Perdana Menteri II dijabat Syafruddin Prawiranegara, Hasan
pernah menjadi stafnya. Atas jasa Syafruddin jugalah Hasan mendapat
beasiswa Colombo Plan ke Amerika. “Malah sambil kuliah dia diperbantukan
sebagai staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB,” kata Isa
Sulaiman, sejarawan dari Universitas Syiah Kuala. Artinya, pada suatu
periode Hasan pernah menaruh harapan pada Indonesia.
Setelah pecah pemberontakan DI/TII, sikap Tiro mengeras. Dari Amerika,
pada 9 September 1954, Hasan Tiro pernah mengingatkan Perdana Menteri
Ali Sastroamidjojo agar menghentikan serangan bersenjata kepada aktivis
DI/TII di Aceh. Hasan belakangan juga terlibat dalam Republik Persatuan
Indonesia, sebuah “federasi” sepuluh daerah di Sulawesi, Sumatra, dan
Maluku sebagai perlawan terhadap pemerintahan Sukarno yang sentralistis.
Barulah pada Januari 1965, Hasan menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra
Merdeka. “Jadi, apa yang dilakukannya dengan memproklamasikan Negara
Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 hanyalah kristalisasi dari ide yang
sudah disosialkannya sejak 1965,” kata Isa Sulaiman. Ide Aceh Sumatra
diambil Tiro dari wilayah Kesultanan Iskandar Muda. Pada masa jayanya
kerajaan ini memang pernah sampai menguasai Lampung, Bengkulu, dan
sebagian wilayah Malaysia. Dengan kata lain, pembebasan yang ingin
dilakukan oleh GAM adalah pembebasan terhadap seluruh Sumatra.
Hasan hingga kini menjadi tokoh sentral dari GAM. Masalahnya, apakah
sepeninggal Hasan Tiro, GAM masih akan melanjutkan pola suksesi dan
pemerintahan ala kesultanan tersebut? Apakah Karim Tiro (anak Hasan
Tiro) akan menggantikan ayahnya jika suatu ketika Hasan Tiro wafat
-sesuatu yang akan menjadi persoalan sendiri mengingat Karim berdarah
Amerika dan ia tidak dikenal luas oleh masyarakat Aceh?
Terpusatnya kepemimpinan di tangan Hasan Tiro pada gilirannya akan
membawa persoalan pada persetujuan politik yang harus dilakukan GAM
dengan elemen masyarakat Aceh lainnya. Sementara GAM bukan satu-satunya
elemen dalam masyarakat Aceh.
Arif Zulkifli, A. Rulianto, Putri Alfarini
Sumber: TEMPO/http://www.hasantiro.com
BIODATA :
- Nama : Teungku Hasan Muhammad di Tiro
- Lahir : 25 September 1925, Pidie, Aceh
- Orangtua : Pocut Fatimah (Ibu), Teungku Muhammad Hasan (Ayah)
- Istri : Dora wanita keturunan Iran berkebangsaan Amerika
- Anak : Karim di Tiro (Doktor Sejarah dan mengajar di AS)
Pendidikan :
- Fakultas Hukum UII, Yogyakarta (1945)
- Ilmu Hukum International, Univesitas Columbia
Pengalaman Organisasi :
- Pernah aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI)
- Pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945
- Staf Wakil Perdana Menteri II dijabat Syafruddin Prawiranegara
- Staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB
- Presiden National Liberation Front of Aceh Sumatra
- Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di PBB,AS, 1950-1954
- Ketua Mutabakh, Lembaga Nonstruktural Departemen Dalam Negeri Libya
- Dianugerahi gelar Doktor Ilmu Hukum University of Plano,Texas
- Lulusan University Columbia dan Fordam University di New York
Karya-karya :
- Mendirikan "Institut Aceh" di AS
- Dirut dari Doral International Ltd di New York
- Punya andil di Eropa, Arab dan Afrika dalam bisnis pelayaran dan penerbangan
- Diangkat oleh Raja Feisal dari Arab Saudi sebagai penasehat agung Muktamar Islam se-Dunia (1973)
- Mendeklarasikan Aceh merdeka pada 4 Desember 1976 untuk melawan pemerintah Indonesia
- Artikel berjudul The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law 1980
- The Unfinished Diary
- Atjeh Bak Mata Donya (Aceh Dimata Dunia)
- Terlibat sebuah "federasi" 10 daerah di Sulawesi, Sumatra, dan Maluku perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno
- Menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka,1965
No comments:
Post a Comment