Wednesday, November 14, 2012

Hasan Tiro Pembual Besar


Tanjong Bungong Sok Feodal

BUALAN HASAN TIRO cukup dahsyat. Mengelabui rakyat lewat nama besar Teungku Chik Di Tiro. Aceh pun banjir darah.

SYAHDAN, adalah seorang "sultan" yang hendak memegang tampuk kepemimpinan di Aceh, dengan nama monarkis yang amat panjang: Al Mudzabbir Al Maulana Al Malik Al Mubin Profesor Doktor Sultan Di Tiro Muhammad Hasan Ibnal Sultan Maat di Tiro. Memang panjang gelarnya itu. Sepanjang riwayat bualannya dari Swedia dan untaian Aceh yang berdarah-darah akibat ulah Hasan Al Chazibul Akbar Di Tiro.

Nama berbaris-baris itu terdengar jumawa. Anehnya, Hasan mengangkat anak tunggalnya, Karim Hasan, sebagai putra mahkota untuk menggantikan posisinya sebagai "raja" Aceh. Cara yang feodalistis dan dinastik ini sangat bertentangan dengan sikap masyarakat Aceh yang egaliter dan demokratis.

Hasan yang kini berusia 76 tahun juga sering mengaku sebagai keturunan ulama Di Tiro, bahkan berani mengklaim dirinya sebagai pewaris tunggal Teungku Chik Di Tiro. Padahal, menurut catatan sejarah, ahli waris Teungku Chik Di Tiro (dari garis keturunan laki-laki) berakhir pada 5 September 1910. Yakni, setelah wafatnya Teungku Chik Mayet di Tiro yang gugur membela Indonesia melawan Belanda. Bukan seperti Hasan Muhammad Tanjong Bungong yang lari ke luar negeri diuber-uber tentara republik. Lelaki bertubuh kurus pendek ini lahir di Tanjong Bungong, Lamlo, Pidie, sebagai putra kedua Leubee Muhammad Tanjong Bungong, pada 1923. Tidak sebuah riwayat pun yang menukilkan ayahnya, Leubee Muhammad, sebagai seorang ulama maupun berdarah biru. Juga tidak ada pertautan dengan Teungku Chik Di Tiro. Hasan lahir sebagai anak petani.

Jika merunut garis keturunan, maka Hasan mesti menyebut nama lengkapnya Hasan Leubee Muhammad Tanjong Bungong, bukan Hasan Tiro, konon pula sultan. Dia juga keturunan orang Jawa-Banten. Aneh bukan? Jika dia menyebut Aceh anti-Jawa --seperti komentarnya lewat saluran TV2 Swedia yang menyebut Jawa sebagai orang bodoh. Nah, Hasan sama saja dengan meludah ke atas.

Hasan memang bukan pula orang yang pintar-pintar amat. Dia memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat, lalu melanjutkannya pada Madrasah Blang Paseh yang didirikan Abu Daud Beureu-eh pada 1938. Alam pikirannya biasa-biasa saja dan cenderung sebagai anak pendiam di sekolah. Dia sekelas dengan Hasan Saleh, tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Untuk membina mentalnya, Abu Daud Beure-eh mengirimnya ke Normal School, Bireuen, Aceh Utara. Perguruan yang dipimpin Moehammad El-Ibrahimy. Hasan mulai nakal. Dia dikeluarkan dari sekolah lantaran berkelahi dengan Ismail Payabujuk. Hasan terdampar lagi di tempat Abu Daud Beureu-eh. Hasan kemudian muncul menjadi Ketua Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Kecamatan Lamlo, Pidie. Di Lamlo pula, Hasan mengibarkan bendera Merah Putih, dan membuat pernyatan atas nama keluarga Tiro sebagai pendukung setia Republik Indonesia pada Agustus 1945.

Lalu, abang kandungnya, Zainal Abidin, memohon bantuan Abu Daud Bereu-eh agar dikirim ke Yogyakarta. Hasan masuk ke Universitas Islam Indonesia. Dan, atas rekomendasi Abu Daud Bereu-eh, Hasan bisa berkenalan dengan Syafruddin Prawiranegara, dan bekerja di pemerintahan Republik Indonesia sambil kuliah, pada 1949 hingga 1951. Syafruddin merekomendasikan Hasan untuk berangkat ke Amerika dan bekerja di kantor Perwakilan Indonesia di PBB, dari 1951 hingga 1954.

Di Amerika, Hasan mendengar Abu Daud Beureu-eh bergabung dengan DI/TII, maka dia pun ikut, pada 1954. Nama Hasan mulai dikenal sejak dia membuat surat yang ditujukan kepada Ali Sostroamidjojo. Isinya, hentikan agresi TNI dan kekejaman terhadap rakyat Aceh , Jawa Barat, dan Sulawesi. Jika tidak, Hasan mengancam akan membawa persoalan tersebut ke forum PBB. Jawaban pemerintah, paspor Hasan Tiro ditarik. Namun, dia masih punya tabungan dan bisa membayar denda US$ 500. Dengan duit sebesar itu, dia bisa menetap di Amerika. Hasan kemudian diangkat S.M. Sukarmaji Mariam Kartosuwiryo sebagai wakil DI di luar negeri, tahun 1956.

Di Amerika, Hasan sempat berpacaran dengan seroang wartawati majalah Time, dan berencana mengawininya. Namun, dia mesti pulang ke Aceh untuk memutuskan tunangan dengan pilihan orangtuanya pada 1958. Inilah pertama kalinya dia menginjak Aceh sejak ditingga linya delapan tahun lalu. Ketika pulang itulah Hasan menerima duit jutaan dolar dari Darul Islam. Tujuannya untuk membeli senjata. Isu bakal dapat senjata besar-besar main santer pada 1959, sebab barter Aceh-Malaysia sudah buka. Hasan pun berangkat lagi k e luar negeri.

Sejak berada di luar negeri, Hasan SELALU MEMBERI ANGIN pada pimpinan Darul Islam, terutama melalui Abu Daud Bereu-eh, bahwa dirinya SUDAH MEMILIKI KONTAK INTERNASIONAL. Dan, ujung-ujungnya, perlu duit untuk beli senjata. Duit pun mengucur dengan derasnya dari 1959 sampai 1961. Termasuk, duit dari dari Kaso Abdul Gani, Darul Islam Sulawesi di Kuala Lumpur. Diketahui kemudian, Hasan TELAH MENGAWINI seorang WANITA KETURUNAN YAHUDI - Swedia yang telah memberikannya seorang putra bernama Karim Hasan.

Ada yang bilang dia berprofesi sebagai makelar. Tetapi, ada juga yang bilang dia punya perusahaan yang bergerak dalam bidang perminyakan, yaitu Dural Internasional Limited 1001 New York. Sayangnya, nama perusahaan ini belakangan diketahui HANYA FIKTIF semata. Tokoh-tokoh DI/TII tentu terus menanyakan perihal senjata api itu. Namun, selalu saja dijawab tunggu dulu.

Di Aceh, Abu Daud Beureu-eh sudah membentuk gerakan sendiri bernama Republik Islam Aceh (RIA), yang diproklamasikan 15 Agustus 1961. Lalu, Abu Daud Berueu-eh mengirim utusan ke Amerika, Teungku Zainal Abidin, abang kandung Hasan Tiro untuk menagih soal senjata itu. "Tidak usah khawatir, Abang pulang saja ke Aceh, barangkali duluan senjata tiba ke Aceh ketimbang Abang," kata Hasan pula, sambil menyebut senjata dibawa pakai helikopter. Zainal pula dan melapor lagi pada Abu Beureu-eh, pada 1974. Saat itu juga dipersiapkan tempat pendaratan helikopter. Hutan di Nisam, Aceh Utara, dibersihkan.

Namun, senjata tidak kunjung datang. Hasan beralasan tidak bisa mengirimkan lewat udara, tetapi harus lewat laut dengan kapal selam. Nah, Abu Daud Beureu-eh kembali memerintahkan alur pantai untuk memudahkan kapal selam masuk. Lagi-lagi, ia terkecoh. Sementara, Hasan sudah berada di Bangkok.

Utusan kembali dikirim, kali ini Doktor Muchtar Hasbi Abdullah. Mereka berjumpa di Bangkok. Hasan membawa Doktor Muchtar pada salah satu pangkalan --diduga di teluk Subic Filipina--, dan Hasan lagi-lagi membual dengan menyebutnya untuk dikirim ke Aceh.

Bertahun-tahun penipuan itu tersimpan. Akhirnya, Darul Islam berproses. Abu Daud Beureu-eh pun semakin tua. Dia memilih hidup dalam masjid, berkhotbah dan menjadi imam masjid Hingga akhirnya, Abu Daud Beureu-eh diculik dan matanya dibutakan hingga akhir hayatnya.

Sedangkan, gerakan Republik Islam Aceh terus melakukan aktivitas di pegunungan. Hingga suatu malam dalam 1977 datanglah berita bahwa Hasan Tiro pulang ke Aceh untuk memimpin pergerakan. Hasan hanya membawa pulang tiga pucuk pistol colt dan dua pucuk doublelub --penembak gajah. Lalu, Hasan memimpin aksi, nama Republik Islam Aceh diubah menjadi Aceh Merdeka. Penamaan Aceh Merdeka itu juga sebenarnya adalah topeng untuk menutup-nutupi wajah Hasan sesungguhnya. "Dia gampang bersumpah. Abu kan ulama, jadi cepat memaafkannya," kata Teungku Fauzi Hasbi Abdullah, salah seorang saksi sejarah Aceh. Sebab, jika memakai Aceh merdeka, maka label Islam yang menonjol. Dan, itu penting untuk pergerakan di Aceh.

Sedangkan, yang sesungguhnya Hasan lebih sering memakai Front Liberation Aceh Sumatera. Alasan penamaan asing tersebut guna mudah mendapat perhatian internasional. "Kalau Islam sulit berjuang," begitu alasan Hasan, sebagaimana diulangi Teungku Fauzi Hasbi Abdullah, bekas Kepala Staf Angkatan Perang Aceh Merdeka. Waktu terus berjalan hingga diproklamasikannya Aceh Merdeka. Sebenarnya, proklamasinya berlangsung pada 20 Mei 1977.

Jadi, bukan pada 4 Desember1976 sebagaimana diinginkan Hasan. Kabinet pun disusun. Hasan Tiro mengangkat dirinya menjadi Wali Nanggroe Aceh Merdeka. Lantas, Hasan mulai mendoktrin ajaran yang digemarinya bahwa berjuang untuk memerdekakan Aceh cukup dengan 15 orang buta huruf. Jadi, setiap sekolah mesti dibakar. Mirip dengan teori Mao Tze Tung dari Cina. Selain itu, pantang baginya mendengar ada anak buahnya menjawab perintahnya dengan kalimat "insya Allah", sebab menurutnya itu jawaban orang malas. Itu menunjukkan, Hasan ternyata penganut ajaran Nietzsche dan Machiavelli. Hasan pernah menginstruksikan Fauzi untuk menembak dua pegawai asing di Mobil Oil dan pembajakan Kapal PT Sandiwijaya.

Alasannya, biar PBB cepat mengetahui pergolakan di Aceh. Setelah sempat perang mulut. Fauzi menggerakkan anak buahnya, akibatnya seorang pekerja asing itu tewas, dan satunya lagi luka tembak. Rupanya, penembakan dua karyawan asing Mobil Oil merupakan awal bencana bagi Aceh Merdeka. Sebab, setelah peristiwa itu yang datang bukannya utusan PBB, namun sepasukan RPKAD yang dipimpin Letnan Satu Sjafrie Sjamsoeddin --kini mayor jenderal dan staf ahl i Panglima TNI. Hasan dan pengikutnya akhirnya menyelamatkan diri ke hutan. Lalu, Hasan bersumpah akan selalu bersama-sama dengan seluruh anggota Aceh Merdeka. "Hanya ada satu perjuangan, merdeka atau syahid," kata Hasan, waktu itu.

Namun, setelah terdesak diuber-uber tentara terus, Hasan mulai mencari dalih menyelamatkan diri. Dia minta izin pada Doktor Muchtar, Wakil Wali Naggroe, untuk berkunjung ke luar negeri selama dua bulan. Alasannya untuk mengambil senjata, berurusan dengan PBB, serta menjalin hubungan diplomatik dengan luar negeri.

Sementara, gerakan Aceh Merdeka mulai mengendur. Satu per satu stafnya ditangkap, di antaranya ada yang tewas seperti Muchtar. Pergerakan Aceh Merdeka pun terhenti. Lalu, bergaung lagi tahun 1986-1989. Kembali Hasan MENABUR JANJI. Namun, hasilnya berbagai tindak kekerasan terjadi di Aceh. Operasi militer diberlakukan di Aceh hingga 1998 dengan korban tak kepalang.

Bila dikaji-kaji, sesungguhnya wajah Hasan yang sebenarnya tak banyak diketahui masyarakat ramai --termasuk juga di kalangan pengikutnya di lapis bawah. Mungkin, karena tampil dari kewibawaan Daud Beureueh yang dicintai rakyat, pengikutnya menganggap Hasan adalah penerus perjuangan suci tokoh DI/TII yang telah tiada itu. Mitos pun berkembang semacam FANATISME BUTA.

Belakangan, terbukti banyak pengikut Hasan pada gelombang kedua ini keluar dari Aceh Merdeka, di antaranya memang tewas dan ditangkap. Kini, gelombang ketiga kembali berkobar di Aceh. Hasan kembali berjanji bahwa Aceh akan merdeka tahun depan. Konon, sebuah kapal selam lengkap pengangkut senjata akan merapat ke pantai Aceh. BUALAN APA LAGI INI?

Oleh :
Nurlis Effendi, dan Muhammad Shaleh 

SUMBER : MAJALAH GAMMA

No comments:

Post a Comment